Skip to main content

Regional Anestesi pada Kistoma Ovarii



Pada kasus ini pasien adalah seorang wanita 40 tahun P3A0 dengan diagnosis kistoma ovarii dan akan dilakukan kistektomi. Jenis anestesi yang digunakan adalah regional anestesi dengan teknik SAB (Sub Arachnoid Block) pada lumbal III-IV. Pemilihan teknik anestesi berdasarkan pada faktor-faktor seperti usia (bayi, anak-anak, dewasa muda, geriatri), status fisik, jenis dan lokasi operasi (kecil, sedang, besar), keterampilan ahli bedah, keterampilan ahli anestesi, bahaya ledakan, dan pendidikan. Teknik sub arachnoid block ini dipilih sesuai indikasi yaitu bedah abdomen bawah, serta tidak ada kontraindikasi baik absolut maupun relatif.

Premedikasi merupakan tindakan pemberian obat-obatan sebelum dilakukan induksi anestesi dengan tujuan untuk memperlancar induksi, rumatan dan bangun dari anesthesia. Pada kasus ini digunakan ketorolac 30 mg dan cendantron 4 mg. Ketorolac merupakan analgetik kuat yang setara dengan opioid sehingga dapat mengurangi rasa nyeri. Ketorolac bekerja dengan cara menghambat sintesis prostaglandin di perifer tanpa mengganggu reseptor opioid pada sistem saraf pusat. Dosis ketorolac yang dianjurkan adalah 30-60 mg, dan dilanjutkan dengan 15-30 mg setiap 6 jam dengan dosis maksimal 120 mg/hari, dan lama pemberian terapi maksimal 5 hari. Cendantron berisi ondansetron HCl yang merupakan suatu antagonis 5-HT3 yang sangat selektif menekan mual dan muntah. Ondansetron HCl diberikan dengan tujuan mencegah mual dan muntah setelah operasi agar tidak terjadi aspirasi dan rasa tidak nyaman. Dosis ondansetron HCl yang dianjurkan yaitu 0,05 - 0,1 mg/KgBB.


Induksi anestesi adalah tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi tidak sadar, sehingga memungkinkan dimulainya anestesi dan pembedahan. Induksi anestesi pada kasus ini menggunakan Decain 20 mg yang diinjeksikan ke dalam ruang subarachnoid kanalis spinalis region antara lumbal 3-4, Decain berisi bupivacaine HCl anhydrous. Kebanyakan obat anestesi lokal tidak memiliki efek samping maupun efek toksik secara berarti. Pemilihan obat anestesi lokal disesuaikan dengan lama dan jenis operasi yang akan dilakukan. Kerja bupivacaine adalah menghambat konduksi saraf yang menghantarkan impuls dari saraf sensoris.

Selama anestesi berlangsung, pasien diberikan Anesfar (midazolam) 2 mg IV. Midazolam adalah obat dengan efek anxiolitik yang merupakan turunan dari benzodiasepin, pemberian obat ini bertujuan untuk mengurangi kecemasan yang dirasakan pasien menjelang operasi dan memberikan efek amnesia anterograde sehingga pasien tidak trauma dengan tindakan operasi. Midazolam bekerja mendepresi sistem saraf pusat termasuk formatio retikularis dan limbik, serta terkadang juga meningkatkan aktivitas GABA (neurotransmitter utama di otak). Dosis midazolam yang dianjurkan adalah 1-2,5 mg. Pemberian O2 3 liter/menit ditujukan untuk menjaga oksigenasi pasien.

Pada saat operasi, pasien merasa mual dan nafas terasa sesak. Pasien diberikan Aminofilin 1 ampul, Difenhidramin 2 ampul, Dexamethasone 2 ampul, dan Adrenalin 1 ampul. Oleh karena kondisi pasien masih tidak tenang, diputuskan untuk memberikan anestesi general dengan Propofol 70 mg. Dan diberikan muscle relaxants berupa Tramus (Atracurium) 25 mg. Sulfas Atropin diberikan 2 kali sebesar 0,5 dan 0,25 mg.

Sulfas atropine pada dosis kecil (0,25 mg) diperlukan untuk menekan sekresi saliva, mucus bronkus dan keringat. Sulfas atropine merupakan antimuskarinik yang bekerja pada alat yang dipersarafi serabut pascaganglion kolinergik. Pada ganglion otonom dan otot rangka, tempat asetilkolin juga bekerja, penghambatan oleh atropine hanya terjadi pada dosis sangat besar.

Propofol dikemas dalam cairan berwarna putih susu bersifat isotonic dengan kepekatan 1% (1 ml = 10 mg). Suntikan intravena dapat menyebabkan nyeri, sehingga beberapa detik sebelumnya dapat diberikan lidokain 1-2 mg/kg intravena. Dosis bolus untuk induksi 2-2,5 mg/kg, dosis rumatan untuk anestesi intravena 4-12 mg/kg/jam dan dosis sedasi untuk perawatan intensif 0,2 mg/kg.

Tracrium (atrakurium / tramus) merupakan pelumpuh otot sintetik dengan masa kerja sedang. Obat ini menghambat transmisi neurumuskuler sehingga menimbulkan kelumpuhan pada otot rangka. Kegunaannya dalam pembedahan adalah sebagai adjuvant dalam anesthesia untuk mendapatkan relaksasi otot rangka tetutama pada dinding abdomen sehingga manipulasi bedah lebih mudah dilakukan. Dengan demikian anestesi dapat dilakukan dengan anestesi yang lebih dangkal. Hal tersebut menguntungkan karena resiko depresi napas dan kardiovaskuler akibat anesthesia dikurangi. Selain itu masa pemulihan pasca anestesi dipersingkat.

Pengelolaan cairan:
Kebutuhan cairan selama operasi
Maintenance 2cc/kg BB/jam = 40 x 2 cc x 1,75 = 140 cc
Puasa 10 jam tidak dihitung karena sejak pasien puasa sudah terpasang infuse RL
Stress operasi besar 6 cc/kg BB/jam = 40 x 6 cc x 1,75 = 420 cc
Jadi kebutuhan selama operasi = 140cc + 420cc = 560 cc

Setelah operasi diketahui jumlah perdarahan sebanyak 500 cc,
EBV (Estimated Blood Volume) dewasa wanita : 65 ml/kg BB
EBV = 65 x 40 = 2600 ml
EBV % = 500/2600 = 19%

Perdarahan yang terjadi kurang dari 20% EBV sehingga tidak perlu diberikan transfusi darah.

Kebutuhan cairan di ruang perawatan (bangsal) :
Maintenance : 2cc/ kg BB/jam
BB 40 kg : 2 x 40 kg = 80 ml/ jam
Jadi jumlah tetesan per menit jika menggunakan jarum 1 ml ≈ 20 tetes per menit adalah (80/60 menit) x 20 tetes = 26,6 tetes/menit

Pasien dipindahkan ke recovery room setelah operasi selesai untuk diobservasi. Bila pasien tenang, stabil, dan bromage score ≥3 maka dapat dipindahkan ke bangsal.

BROMAGE SCORE
Skor
Kriteria
1
Tidak mampu menggerakkan tungkai dan kaki (blokade penuh)
2
Hanya mampu menggerakkan kaki saja (blokade hampir penuh)
3
Hanya mampu menggerakkan tungkai saja (blokade parsial)
4
Fleksi penuh tungkai (tanda-tanda kelemahan pada pangkal paha ketika dalam posisi supine)
5
Tidak ada tanda-tanda kelemahan pada pangkal paha dalam posisi supine
6
Mampu menggerak-gerakkan tungkai

Comments

Popular posts from this blog

Langkah Awal Resusitasi Neonatus dengan HAIKAL

Dalam melakukan tindakan resusitasi neonatus, perlu kita perhatikan kesiapan semua aspek. Mulai dari kesiapan alat, kesiapan penolong, kesiapan ruangan, kesiapan tim, bahkan kesiapan dari keluarga untuk mengantisipasi semua hal yang dapat terjadi pada saat proses persalinan. Neonatus dilahirkan ke dunia butuh proses untuk mengadaptasikan dirinya yang awalnya berada intrauterine untuk menjadi tumbuh dan berkembang secara ekstrauterine. Semua itu butuh kesiapan dari seluruh organ yang ada di dalam tubuhnya untuk beradaptasi dengan lingkungan yang baru.

Penilaian VTP Tidak Efektif dengan SRIBTA

Ada kalanya dalam melakukan tindakan resusitasi neonatus kita memerlukan tindakan pemberian ventilasi tekanan positif (VTP) dikarenakan kondisi pernafasan bayi belum adekuat untuk bisa bertahan hidup dalam proses adaptasinya dengan lingkungan ekstrauterine. Pemberian VTP diindikasikan pada kondisi berikut, yaitu pertama terjadinya pernafasan yang megap-megap dari bayi atau apneu. Yang kedua, walau bayi dapat bernafas spontan, namun frekuensi jantung kurang dari 100x/menit. Selanjutnya, yang ketiga, SpO2 yang terukur berada di bawah target SpO2 walaupun sudah diberikan O2 aliran bebas.

Perbedaan Visum et Repertum, Rekam Medis, dan Surat Keterangan Ahli

Pada postingan sebelumnya, telah dijelaskan apa itu visum et repertum, rekam medis, maupun surat keterangan ahli. Namun, tahukah anda apa perbedaan dari tiap istilah tersebut ? Mungkin tabel berikut dapat menjelaskan apa sebenarnya perbedaan dari ketiga istilah tersebut. Silakan dibaca secara seksama apa perbedaan dari tiap istilah tersebut. Apabila masih ada pertanyaan yang muncul di kepala terkait istilah-istilah ini, ditanyakan melalui kolom komentar di bawah agar lebih jelas. Segala pertanyaan akan saya usahakan untuk dijawab sebisa mungkin. Semoga semua puas, terima kasih.