Skip to main content

Tramadol versus Meperidine dalam Penanganan Menggigil selama Anestesi Spinal pada Sectio Cesarean

ABSTRAK
Latar Belakang : Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi kegunaan dan efek samping tramadol dibandingkan dengan meperidine pada menggigil pasca anestesi spinal pada sectio cesarean.
Metode : Merupakan penelitian prospektif, terkontrol, acak, uji klinis double-blind 73 pasien hamil ASA-I yang akan melakukan sectio cesarean dalam anestesi spinal yang mengalami menggigil pasca operasi dan dikelompokkan ke dalam 2 grup yang mendapat tramadol atau meperidine untuk mengontrol menggigil pasca operasi. Anestesi spinal dilakukan dengan menginjeksikan lidokain dengan epinefrin 5% pada segmen L3-4 atau L4-5. Rasa gatal, mengantuk, pusing, mual, muntah, dan durasi kontrol menggigil dievaluasi dan dicatat. Semua data dianalisis menggunakan uji Fisher dan Chi-Square.
Hasil : Tidak ada perbedaan signifikan antara kedua grup dalam hal usia (P = 0,1) dan berat badan (P = 0,8) pasien. Tidak ada perbedaan signifikan pada kecepatan respon setelah injeksi kedua obat (P = 0,3). Waktu yang dihabiskan dari sejak pengobatan hingga berhenti menggigil lebih sedikit (P = 0,001) namun frekuensi mengantuk (P = 0,001), mual (P = 0,001) dan muntah (P = 0,005) meningkat pada grup tramadol. Rasa pusing lebih sering pada grup meperidine (P = 0,001) dan gatal tidak terdapat di grup manapun.
Kesimpulan : Tramadol lebih efektif dalam mengontrol menggigil pasca anestesi spinal namun lebih sering mengakibatkan mual, muntah, dan mengantuk dibandingkan dengan meperidine.

Kata Kunci : menggigil, meperidine, tramadol, anestesi spinal, sectio cesarean.

JRMS 2006; 11(3): 151-155

Anestesi regional (ekstradural/subarachnoid) merupakan tekhnik anestesi paling aman dan populer untuk sectio cesarean, baik dalam keadaan elektif maupun emergensi. Salah satu komplikasi yang paling sering dari tekhnik ini adalah menggigil.

Penyebab menggigil post operasi masih belum jelas dan berbagai mekanisme telah diajukan. Menggigil terjadi sebagai respon termoregulasi dari hipotermia atau hiperaktivitas otot dengan pola klonik atau tonik, dan frekuensi yang berbeda telah dilaporkan. Walau begitu, pada periode post operasi, aktivitas otot meningkat bahkan dengan normotermia, mengindikasikan bahwa mekanisme lain daripada hilangnya panas dan penurunan berkelanjutan pada suhu tubuh memiliki kontribusi pada kelanjutan menggigil. Hal ini meliputi refleks spinal, nyeri post operasi, penurunan aktivitas simpatik, pengeluaran pirogen, supresi adrenal dan alkalosis respiratorik.

Menggigil menyebabkan tekanan/stres pada pasien. Hal itu dapat meningkatkan laju metabolisme hingga 400%, menyebabkan hipoksemia arteri, dan asidosis laktat, meningkatkan tekanan intrakranial dan menyebabkan meningkatnya rasa nyeri.

Sejumlah intervensi farmakologis diajukan untuk penanganan menggigil post operasi. Beberapa penelitian menyarankan bahwa selain memancarkan panas ke permukaan tubuh, menggigil juga dapat diobati dengan meperidine, clonidine, ataupun ketanserin. Keberhasilan dari obat-obat tersebut relatif berbeda, namun masih belum jelas. Tramadol digunakan sebagai analgesik untuk nyeri saat persalinan tanpa efek samping pada ibu ataupun bayinya. Ditambah lagi, hal tersebut menunjukkan keefektifannya dalam pengobatan menggigil post operasi. Tramadol dan meperidine sama-sama poten sebagai analgesia. Namun, efek anti menggigil dan analgesik dari dua obat tersebut mungkin dimediasi melalui reseptor yang berbeda.

Penelitian prospektif ini, double-blind dan acak dilakukan untuk membandingkan efek anti menggigil dan juga efek sampingnya antara tramadol dan meperidine untuk penatalaksanaan menggigil post anestesi spinal pada ibu yang melahirkan.

METODE
Setelah persetujuan komite etik dan mendapat informed consent tertulis dari pasien, 73 ibu hamil dengan ASA-I yang berlanjut menggigil intra atau post operasi selama sectio cesarean elektif dan emergensi dalam anestesi spinal diteliti. Pasien yang diketahui alergi terhadap tramadol, memiliki riwayat penyalahgunaan zat atau alkohol, atau yang mendapat meperidine intramuskular untuk nyeri persalinan dalam 1 jam, tidak diikutsertakan. Anestesi spinal dilakukan pada ruangan L3-L4 atau L4-L5 dengan menginjeksikan 1,5 mg lidokain berepinefrin 5%. Volume preload cairan intravena, penggunaan efedrin untuk hipotensi, dan dosis anestesi lokal ditentukan dengan menemui anestesiologis dan tidak terpengaruh oleh keikutsertaan dalam penelitian.

Seluruh cairan preload dan obat-obatan diberikan pada suhu ruangan dan suhu ruang operator dijaga pada 21-23oC. Digunakan pemantauan standar dari tekanan darah non invasif, EKG dan oksimeter dan suhu tubuh dipantau melalui membran timpani. Pasien yang masuk dalam penelitian diacak ke dalam 2 grup. Grup T (tramadol) mendapat tramadol 0,5 mg/kgBB dan grup M (meperidine) mendapat meperidine 0,5 mg/kgBB. Kedua obat tersebut diberikan secara lambat dalam bentuk injeksi intravena. Anestesiologis dan pasien buta terhadap pengobatan. Pengacakan dan pembutaan penelitian dijamin oleh protokol ketat.

Menggigil digolongkan dengan skala yang sama yang divalidasi oleh Crossley dan Mahajan7; 0 = tidak menggigil, 1 = piloereksi atau vasokonstriksi perifer namun tidak terlihat menggigil, 2 = aktivitas otot pada hanya satu kelompok otot, 3 = aktivitas otot pada lebih dari satu kelompok otot namun tidak menggigil seluruh tubuh, 4 = menggigil seluruh tubuh. Hanya ibu melahirkan yang mengalami menggigil grade 3 atau 4 selama minimal 3 menit yang dimasukkan dalam penelitian. Sebelum memulai operasi, dua spuit mengandung 10 mg/ml tramadol ataupun meperidine dalam 5 ml cairan dipersiapkan. Ketika pasien menggigil dan membutuhkan pengobatan, seorang anestesi yang tidak terlibat dalam hal lainnya di penelitian akan mengambil secara acak amplop yang tertutup dan mengambil satu dari dua spuit berlabel sesuai instruksi di amplop. Label pada spuit dilepas sebelum diberikan pada anestesiologis dan dijaga oleh asisten hingga akhir operasi. Pemberian opioid pre atau intraoperatif tidak diperkenankan. Pasien diberikan oksigen 6 lt/menit menggunakan sungkup dan ditutupi kain namun tidak secara aktif dihangatkan selama anestesi. Efek anti menggigil dinilai oleh pasien dan oleh dipantau anestesiologis. Pasien diminta untuk mengevaluasi efek pengobatan 5 menit setelah injeksi, apakah tidak ada perbaikan, sedikit perbaikan, atau perbaikan nyata. Anestesiologis mencatat waktu yang dinilai secara subyektif menggigil yang mereda dan kecepatan respon (menggigil berhenti setelah pengobatan 15 menit). Jika menggigil tidak mereda setelah 15 menit, pengobatan dianggap tidak efektif. Berulangnya menggigil, jika ada, juga dicatat hingga pasien meninggalkan ruangan operasi. Efek samping diantaranya gatal, mengantuk, pusing, mual, muntah, dan tekanan darah, nadi dan SpO2 dicatat sebelumnya dan tiap 5-15 menit setelah anestesi spinal dan 5 menit setelah pengobatan. Suhu timpani pasien diukur sebelum memulai operasi, pada awal menggigil, dan berakhirnya menggigil. Jika pasien mual dan muntah setelah injeksi obat, diberikan metoclopramide 10 mg IV. Data dianalisis dengan program SPSS, menggunakan uji Chi-square dan Fisher. P-value <0,05 dianggap signifikan secara statistik.

HASIL
Tujuh puluh tiga pasien mengalami menggigil grade 3 atau 4. Tidak ada perbedaan signifikan antara 2 grup dalam hal umur, berat badan, dan suhu timpani pada awal anestesi spinal (tabel 1).

Kecepatan respon (menggigil reda setelah pengobatan 15 menit) sebesar 97,2% pada grup T dan 91,9% pada grup M (tabel 2). Waktu yang dihabiskan dari pengobatan hingga hilangnya menggigil lebih pendek secara signifikan pada grup tramadol (2,5 ± 1,07 menit)(tabel 2). Pada grup tramadol insidensi mual, muntah, dan mengantuk lebih banyak secara signifikan. Namun, pusing lebih sering pada grup meperidine (tabel 2).

Tidak ada pasien di setiap grup menjadi gatal atau desaturasi setelah injeksi obat dan tidak ada injeksi sebelum lahirnya bayi. Ditambah lagi, hasil tekanan darah arteri, nadi, respirasi, dan saturasi oksigen tidak berbeda secara signifikan antar grup sebelum dan 15 menit setelah anestesi spinal dan juga 5 menit setelah pengobatan menggigil.



DISKUSI
Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa tramadol (0,5 mg/kgBB) dan meperidine (0,5 mg/kgBB) efektif mengobati menggigil pasca anestesi spinal. Mekanisme menggigil pada anestesi umum tidak diketahui secara pasti. Faktor yang mungkin memiliki kontribusi adalah penurunan suhu tubuh dan kesalahan informasi dari reseptor. Penurunan suhu tubuh mungkin oleh karena 1) blok simpatis mengakibatkan vasodilatasi perifer, meningkatnya aliran darah kulit, dan peningkatan hilangnya panas melalui kulit, 2) ruang operasi yang dingin dan/atau infus cairan kristaloid cepat pada suhu ruangan atau 3) efek langsung cairan anestesi dingin pada reseptor sensitif suhu dalam korda spinalis.

Modalitas pengobatan memasukkan menyelimuti pasien dengan selimut, aplikasi pancaran panas dan menghangatkan ruang operasi. Penggunaan cairan anestesi lokal hangat atau cairan intravena hangat telah ada dengan berbagai tingkat keberhasilan. Penelitian kami dibuat untuk menstandarkan faktor pengganggu yang mencerminkan praktek yang biasa dilakukan di institusi kami. Suhu ruang operasi dipertahankan konstan di 21-23oC, cairan intravena dan obat diberikan pada suhu ruangan. Suhu timpani dicatat pada awal operasi.

Tramadol merupakan analgesik dengan sifat agonis pada reseptor opioid. Itu juga mengaktifkan reseptor monoaminergik dari spinal menurun jalur penghambatan nyeri. Efek opioid utama dari tramadol dimediasi melalui reseptor μ, dengan efek minimal pada lokasi pengikatan kappa atau sigma. Tramadol juga menghambat noradrenalin sinaptosomal in vitro dan pengambilan serotonin, yang berperan dalam efek analgesik. Penelitian kami menunjukkan bahwa tramadol, pada dosis 0,5mg/kgBB mengontrol menggigil pada pasien yang menjalani section cesarean dalam anestesi regional. Hal itu juga menunjukkan bahwa insidensi mual, muntah dan mengantuk pada dosis ini meningkat pada grup tramadol, dimana terdapat perbedaan dengan temuan Yu-chuan Tsai pada kondisi ini.

Berdasarkan pada penelitian kami, tidak memungkinkan untuk menggambarkan kesimpulan mengenai mekanisme yang terlibat pada efek anti menggigil dari tramadol. Untuk meperidine, efeknya cenderung diperantarai melalui reseptor selain reseptor μ, khususnya reseptor K. Hal ini didukung oleh pemantauan bahwa meperidine mengontrol menggigil lebih baik daripada morfin dan fentanyl, dan efek anti menggigil dari meperidine tidak terbalik oleh karena dosis rendah, namun oleh naloxone dosis tinggi.

Tramadol memiliki aktivitas reseptor K minimal. Aktivitas reseptor μ dari tramadol juga sepertinya tidak begitu penting pada efek yang kami pantau.

Agonis μ murni seperti morfin dan fentanyl tidak memiliki efek anti menggigil yang signifikan15. Dengan demikian, sangat mungkin bahwa efek anti menggigil dari tramadol diperantarai melalui aktivitas serotonergik atau noradrenergic ataupun keduanya.

Penelitian kami tidak melakukan kontrol ketat terhadap berbagai faktor yang mungkin mempengaruhi insidensi menggigil, misal suhu obat dan cairan intravena. Namun, ini tidak mempengaruhi validitas perbandingan kami. Pertama, penelitian saat ini focus pada respon setelah pengobatan, dibandingkan dengan insidensi menggigil. Kedua, secara acak, kedua grup dibuat pada derajat yang sama yang mempengaruhi faktor ini.

Pada penelitian ini, kami melakukan perbandingan antara tramadol dan meperidine. Namun, tramadol memiliki kelebihan daripada meperidine pada hal tersebut bukan obat pengontrol dan tramadol menyebabkan pusing dan depresi pernafasan yang lebih ringan daripada opioid lainnya pada dosis ekuivalen17,18. Sebagai kesimpulan, tramadol (0,5 mg/kgBB) dan meperidine (0,5 mg/kgBB) secara efektif mengobati pasien dengan menggigil post spinal, namun insidensi efek samping tramadol lebih sering, misalnya mual, muntah, dan mengantuk mungkin mengurangi penggunaannya sebagai obat anti menggigil. Oleh karena efek samping tramadol ini, penelitian selanjutnya dibutuhkan untuk mencari dosis efektif minimal dari tramadol untuk mengurangi menggigil.

DAFTAR PUSTAKA
  1. Miller R. Anesthesia. 4 ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 1994. 
  2. Horn EP, Sessler DI, Standl T, Schroeder F, Bartz HJ, Beyer JC et al. Non-thermoregulatory shivering in patients recovering from isoflurane or desflurane anesthesia. Anesthesiology 1998; 89(4):878-886. 
  3. Chan AM, Ng KF, Tong EW, Jan GS. Control of shivering under regional anesthesia in obstetric patients with tramadol. Can J Anaesth 1999; 46(3):253-258. 
  4. Viegas OA, Khaw B, Ratnam SS. Tramadol in labour pain in primiparous patients. A prospective comparative clinical trial. Eur J Obstet Gynecol Reprod Biol 1993; 49(3):131-135. 
  5. Pausawasdi S, Jirasirithum S, Phanarai C. The use of tramadol hydrochloride in the treatment of post-anesthetic shivering. J Med Assoc Thai 1990; 73(1):16-20. 
  6. Lee CR, McTavish D, Sorkin EM. Tramadol. A preliminary review of its pharmacodynamic and pharmacokinetic properties, and therapeutic potential in acute and chronic pain states. Drugs 1993; 46(2):313-340. 
  7. Crossley AW, Mahajan RP. The intensity of postoperative shivering is unrelated to axillary temperature. Anaesthesia 1994; 49(3):205-207. 
  8. Chamberlain DP, Chamberlain BD. Changes in the skin temperature of the trunk and their relationship to sympathetic blockade during spinal anesthesia. Anesthesiology 1986; 65(2):139-143. 
  9. Pflug AE, Aasheim GM, Foster C, Martin RW. Prevention of post-anaesthesia shivering. Can Anaesth Soc J 1978; 25(1):43-49. 
  10. Waters HR, Rosen N, Perkins DH. Extradural blockade with bupivacaine. A double blind trial of bupivacaine with adrenaline 1-200,000, and bupivacaine plain. Anaesthesia 1970; 25(2):184-190. 
  11. Walmsley AJ, Giesecke AH, Lipton JM. Contribution of extradural temperature to shivering during extradural anaesthesia. Br J Anaesth 1986; 58(10):1130-1134. 
  12. Sharkey A, Lipton JM, Murphy MT, Giesecke AH. Inhibition of postanesthetic shivering with radiant heat. Anesthesiology 1987; 66(2):249-252. 
  13. Webb PJ, James FM, III, Wheeler AS. Shivering during epidural analgesia in women in labor. Anesthesiology 1981; 55(6):706-707. 
  14. Tsai YC, Chu KS. A comparison of tramadol, amitriptyline, and meperidine for postepidural anesthetic shivering in parturients. Anesth Analg 2001; 93(5):1288-1292. 
  15. Pauca AL, Savage RT, Simpson S, Roy RC. Effect of pethidine, fentanyl and morphine on post-operative shivering in man. Acta Anaesthesiol Scand 1984; 28(2):138-143. 
  16. Kurz M, Belani KG, Sessler DI, Kurz A, Larson MD, Schroeder M et al. Naloxone, meperidine, and shivering. Anesthesiology 1993; 79(6):1193-1201. 
  17. Houmes RJ, Voets MA, Verkaaik A, Erdmann W, Lachmann B. Efficacy and safety of tramadol versus morphine for moderate and severe postoperative pain with special regard to respiratory depression. Anesth Analg 1992; 74(4):510-514. 
  18. Vickers MD, Paravicini D. Comparison of tramadol with morphine for post-operative pain following abdominal surgery. Eur J Anaesthesiol 1995; 12(3):265-271.

Comments

Popular posts from this blog

Langkah Awal Resusitasi Neonatus dengan HAIKAL

Dalam melakukan tindakan resusitasi neonatus, perlu kita perhatikan kesiapan semua aspek. Mulai dari kesiapan alat, kesiapan penolong, kesiapan ruangan, kesiapan tim, bahkan kesiapan dari keluarga untuk mengantisipasi semua hal yang dapat terjadi pada saat proses persalinan. Neonatus dilahirkan ke dunia butuh proses untuk mengadaptasikan dirinya yang awalnya berada intrauterine untuk menjadi tumbuh dan berkembang secara ekstrauterine. Semua itu butuh kesiapan dari seluruh organ yang ada di dalam tubuhnya untuk beradaptasi dengan lingkungan yang baru.

Penilaian VTP Tidak Efektif dengan SRIBTA

Ada kalanya dalam melakukan tindakan resusitasi neonatus kita memerlukan tindakan pemberian ventilasi tekanan positif (VTP) dikarenakan kondisi pernafasan bayi belum adekuat untuk bisa bertahan hidup dalam proses adaptasinya dengan lingkungan ekstrauterine. Pemberian VTP diindikasikan pada kondisi berikut, yaitu pertama terjadinya pernafasan yang megap-megap dari bayi atau apneu. Yang kedua, walau bayi dapat bernafas spontan, namun frekuensi jantung kurang dari 100x/menit. Selanjutnya, yang ketiga, SpO2 yang terukur berada di bawah target SpO2 walaupun sudah diberikan O2 aliran bebas.

Perbedaan Visum et Repertum, Rekam Medis, dan Surat Keterangan Ahli

Pada postingan sebelumnya, telah dijelaskan apa itu visum et repertum, rekam medis, maupun surat keterangan ahli. Namun, tahukah anda apa perbedaan dari tiap istilah tersebut ? Mungkin tabel berikut dapat menjelaskan apa sebenarnya perbedaan dari ketiga istilah tersebut. Silakan dibaca secara seksama apa perbedaan dari tiap istilah tersebut. Apabila masih ada pertanyaan yang muncul di kepala terkait istilah-istilah ini, ditanyakan melalui kolom komentar di bawah agar lebih jelas. Segala pertanyaan akan saya usahakan untuk dijawab sebisa mungkin. Semoga semua puas, terima kasih.