Skip to main content

PPK Tatalaksanaan Jangka Panjang Kejang Demam Sederhana

ABSTRAK
Kejang demam adalah kelainan kejang yang paling umum pada masa kecil, terjadi 2% sampai 5% anak-anak usia antara 6 dan 60 bulan. Kejang demam sederhana didefinisikan sebagai kejang umum singkat (<15-menit) yang terjadi sekali selama 24 jam pada anak demam yang tidak memiliki infeksi intrakranial, gangguan metabolisme, atau riwayat kejang afebrile. Pedoman ini (revisi dari tahun 1999 dari parameter praktek American Academy of Pediatric (AAP) [sekarang disebut pedoman praktek klinis] "The Long-term Treatment of the Child with Simple Febrile Seizure") berisi risiko dan keuntungan dari terapi antikonvulsan intermitten ataupun antikonvulsan yang diberikan secara berkelanjutan dan penggunaan antipiretik pada anak-anak dengan kejang demam sederhana. Hal ini dirancang untuk membantu dokter anak dalam menyediakan kerangka kerja analisis untuk keputusan mengenai kemungkinan intervensi terapeutik dalam populasi pasien ini. Hal ini tidak dimaksudkan untuk mengganti penilaian klinis atau untuk mendirikan sebuah protokol untuk semua pasien dengan gangguan ini. Jarang pedoman ini akan menjadi satu-satunya pendekatan terhadap masalah ini.

Hasil yang diharapkan dari pedoman praktik ini meliputi: 
  1. Mengoptimalkan dokter pemahaman tentang dasar ilmiah untuk menggunakan atau menghindari berbagai usulan perawatan untuk anak-anak dengan kejang demam sederhana. 
  2. Meningkatkan kesehatan anak-anak dengan kejang demam sederhana dengan menghindari terapi berpotensi tinggi menimbulkan efek samping dan menghindari terapi yang tidak terbukti untuk meningkatkan hasil jangka panjang. 
  3. Mengurangi biaya dengan menghindari terapi yang tidak terbukti meningkatkan hasil jangka panjang anak-anak. 
  4. Membantu dokter mendidik pengasuh tentang risiko rendah yang terkait dengan kejang demam sederhana. 

Komite menetapkan bahwa dengan pengecualian rekurensi tingkat tinggi, tidak ada efek jangka panjang dari kejang demam sederhana yang telah diidentifikasi. Risiko berkembangnya epilepsi pada pasien sangat rendah, meskipun sedikit lebih tinggi daripada di populasi umum. Tidak ada data yang menunjukkan bahwa pengobatan profilaksis anak-anak dengan kejang demam sederhana akan mengurangi risiko, karena kemungkinan epilepsi adalah hasil dari predisposisi genetik daripada kerusakan struktural otak yang disebabkan oleh berulangnya kejang demam sederhana. Walaupun antipiretik telah terbukti tidak efektif untuk mencegah kejang demam berulang, ada bukti bahwa terapi dengan antikonvulsan yang diberikan berkelanjutan yaitu dengan phenobarbital, primidone, atau asam valproat dan terapi intermitten dengan diazepam efektif dalam mengurangi rekurensi kejang demam. Potensi toksisitas terkait dengan obat ini, namun relatif lebih kecil daripada risiko yang terkait dengan kejang demam sederhana. Dengan demikian, komite menyimpulkan bahwa, berdasarkan risiko dan manfaat terapi yang efektif, baik anticonvulsant yang diberikan terus menerus atau intermiten ini direkomendasikan untuk anak-anak dengan 1 atau lebih kejang demam sederhana.

PENDAHULUAN
Kejang demam merupakan kejang yang terjadi pada anak dalam kondisi demam, antara umur 6 bulan hingga 60 bulan, tanpa adanya infeksi intrakranial, gangguan metabolik, ataupun riwayat kejang tanpa demam. Kejang demam dibagi menjadi 2 kategori: sederhana dan kompleks. Kejang demam sederhana berlangsung kurang dari 15 menit, bersifat general/seluruh tubuh (tanpa adanya komponen fokal), dan terjadi satu kali dalam 24 jam. Sedangkan kejang demam sederhana berlangsung lebih lama (lebih dari 15 menit), bersifat fokal, ataupun terjadi lebih dari satu kali dalam 24 jam. Walaupun seringnya frekuensi dari kejang demam (2% - 5%), namun tidak ada kesepakatan pendapat mengenai pilihan penatalaksanaan. Panduan praktek klinis ini menerangkan intervensi terapi potensial pada anak yang normal secara neurologis dengan kejang demam sederhana. Panduan ini tidak dimaksudkan untuk pasien dengan kejang demam kompleks dan tidak menyinggung anak-anak dengan gangguan neurologis sebelumnya, adanya kelainan sistem saraf pusat, atau riwayat kejang tanpa demam. Panduan praktek klinis ini merupakan revisi dari parameter praktek klinis American Academy of Pediatrics (AAP) pada tahun 1999, yang berjudul “The Long-term Treatment of The Child With Simple Febrile Seizures.”

Pada anak yang pernah mengalami kejang demam sederhana, terdapat 4 kemungkinan efek buruk yang secara teori dapat dirubah oleh agen terapeutik yang efektif: (1) penurunan IQ; (2) peningkatan resiko epilepsi; (3) resiko kambuhnya kejang demam; (4) kematian. Baik penurunan IQ, kurangnya perhatian secara neurokognitif atau prestasi akademik, maupun gangguan perilaku telah ditunjukkan sebagai akibat dari kejang demam sederhana yang berulang. Ellenberg dan Nelson mempelajari 431 anak yang mengalami kejang demam dan melihat tidak ada perbedaan signifikan pada pengetahuannya dibandingkan dengan kontrol saudara kandungnya. Pada sebuah studi yang sama oleh Verity dan kawan-kawan, 303 anak dengan kejang demam dibandingkan dengan anak lain sebagai kontrol. Tidak ada perbedaan yang teridentifikasi dari segi pengetahuan, kecuali pada anak yang memiliki gangguan neurologis sebelum kejang pertamanya.

Kekhawatiran yang kedua, peningkatan resiko epilepsi, bersifat lebih kompleks. Anak dengan kejang demam sederhana kira-kira memiliki resiko yang sama dengan populasi umum untuk berkembang menjadi epilepsi pada usia 7 tahun (misal, 1%). Bagaimanapun juga, anak dengan kejang demam sederhana yang multipel, berusia kurang dari 12 bulan pada saat kejang demam pertamanya, dan mempunyai riwayat epilepsi pada keluarga, memiliki resiko yang lebih besar, dengan kejang tanpa demam yang bersifat general/umum berkembang pada umur 25 tahun sekitar 2,4%. Walau faktanya, tidak ada studi yang menunjukkan bahwa terapi yang berhasil pada kejang demam sederhana dapat mencegah perkembangan epilepsi selanjutnya, dan saat ini tidak ada bukti bahwa kejang demam sederhana menyebabkan kerusakan struktur otak. Peningkatan resiko epilepsi pada populasi ini tentunya merupakan akibat dari predisposisi genetik.

Berbeda dengan sedikit peningkatan resiko berkembangnya epilepsi, anak-anak dengan kejang demam sederhana memiliki tingkat rekurensi yang tinggi. Resiko bervariasi berdasarkan usia. Anak yang mengalami kejang demam sederhana pertamanya berusia kurang dari 12 bulan, memiliki kemungkinan sekitar 50% untuk berulangnya kejang demam. Sedangkan jika berusia lebih dari 12 bulan pada kejang demam sederhana pertamanya, akan memiliki kemungkinan sekitar 30% mandapatkan kejang demam yang kedua. Anak yang telah mengalami kejang demam yang kedua, 50% kemungkinan mendapatkan minimal 1 rekurensi tambahan.

Akhirnya, secara teori terdapat resiko kematian anak selama kejang demam sederhana yang diakibatkan oleh cedera, aspirasi, atau aritmia jantung, namun hal itu tidak pernah ada yang dilaporkan.

Pada kesimpulan, dengan pengecualian tingkat rekurensi yang tinggi, tidak ada efek samping jangka panjang yang teridentifikasi pada kejang demam sederhana. Oleh karena resiko yang berhubungan dengan kejang demam sederhana, selain rekurensi, cukup rendah dan karena jumlah anak yang mengalami kejang demam pada awal-awal tahun kehidupannya cukup tinggi, agar sepadan, usulan terapi yang dibutuhkan harus benar-benar memiliki efek samping dan resiko yang minimal, murah, dan sangat efektif.

METODE
Dalam rangka pembaruan pedoman praktek klinis tentang perlakuan terhadap anak-anak dengan kejang demam sederhana, AAP membentuk subkomite untuk kejang demam. Panitia ini diketuai oleh seorang ahli saraf anak dan terdiri dari ahli neuroepidemiologi, 2 tambahan ahli saraf anak, dan dokter anak yang terlatih. Semua anggota panel meninjau dan menandatangani AAP secara sukarela. Pedoman telah direview oleh anggota komite pengarah AAP pada peningkatan mutu dan manajemen; anggota AAP bagian neurologi, bagian kegawatdaruratan pediatrik, bagian perkembangan dan perlkau pediatrik, dan bagian epidemiologi; anggota komite AAP pada kegawatdaruratan pediatrik dan pertanggungjawaban medis dan manajemen resiko; anggota dewan AAP pada anak-anak penyandang cacat dan komunitas pediatrik; dan anggota organisasi-organisasi luar termasuk Child Neurology Society dan American Academy of Neurology.

Review yang komprehensif berdasarkan bukti-bukti literatur yang diterbitkan sejak tahun 1998 ini dilakukan dengan tujuan untuk membahas kemungkinan intervensi terapeutik dalam pengelolaan anak-anak dengan kejang demam sederhana. Penelaahan difokuskan pada efikasi dan efek samping pengobatan potensial yang diusulkan. Keputusan dibuat berdasarkan penilaian sistematis kualitas dan kekuatan bukti rekomendasi.

AAP membentuk kemitraan dengan University of Kentucky (Lexington, KY) untuk mengembangkan sebuah laporan berbasis bukti, yang berfungsi sebagai sumber informasi utama untuk rekomendasi praktek-panduan. Isu-isu spesifik yang ditujukan adalah (1) efektivitas terapi antikonvulsan yang diberikan berkelanjutan dalam mencegah kejang demam berulang, (2) efektivitas terapi intermiten antikonvulsan dalam mencegah kejang demam berulang, (3) efektifitas antipiretik untuk mencegah kejang demam berulang, dan (4) efek samping terapi antikonvulsan yang diberikan berkelanjutan atau secara intermiten..

Dalam parameter praktik asli, lebih dari 300 artikel jurnal medis melaporkan studi tentang riwayat kejang demam sederhana atau terapi kejang yang sudah ditinjau dan diabstraksikan. Enam puluh lima artikel tambahan telah dibahas dan disarikan untuk pembaruan. Penekanannya adalah pada hal yang membedakan kejang demam sederhana dengan tipe kejang lain, yang sesuai dengan perlakuan dan kelompok kontrol, dan yang menggambarkan kepatuhan terhadap rejimen obat. Table dibentuk dari 65 artikel yang paling sesuai dengan kriteria tersebut. tinjauan pustaka yang lebih komprehensif dapat ditemukan dalam laporan teknis yang akan datang (awal laporan teknis dapat diakses di http://aappolicy.aappublications.org/ cgi/content/full/pediatrics; 103 / 6/e86). Laporan teknis juga akan berisi informasi dosis.

Bukti-bukti berbasis pendekatan pada perkembangan pedoman mensyaratkan bahwa bukti-bukti yang mendukung rekomendasi diidentifikasi, dinilai, dan diringkas dan bahwa secara eksplisit hubungan antara bukti dan rekomendasi didefinisikan. Rekomendasi berdasarkan bukti mencerminkan kualitas bukti dan keseimbangan keuntungan dan kerugian yang diantisipasi bila rekomendasi diikuti. Pernyataan kebijakan yang AAP "Klasifikasi Rekomendasi untuk Pedoman Praktek Klinis" ini diikuti di dalam design level rekomendasi (lihat Gambar 1 dan Tabel 1).

Gambar 1. Mengintegrasikan penilaian kualitas bukti dengan penilaian keseimbangan keuntungan dan kerugian yang diantuisipasi jika kebijakan ini diarahkan pada penunjukan kebijakan sebagai rekomendasi yang kuat, rekomendasi, pilihan, atau tidak ada rekomendasi. RCT menunjukkan randomized, controlled trial.

REKOMENDASI
Berdasarkan risiko dan manfaat terapi yang efektif, baik antikonvulsan yang diberikan secara berkelanjutan atau intermitten direkomendasikan untuk anak-anak dengan 1 atau lebih kejang demam sederhana. 
  • Kualitas bukti agregat: B (RCT dan penelitian diagnostik dengan sedikit keterbatasan). 
  • Manfaat: pencegahan kejang demam berulang, yang tidak berbahaya dan secara signifikan tidak meningkatkan risiko untuk pengembangan epilepsi di masa depan. 
  • Harm: efek samping hepatotoksisitas yang fatal adalah jarang (terutama pada anak-anak < 2 tahun yang juga paling berisiko terhadap kejang demam), trombositopenia, penurunan berat badan, gangguan pencernaan, dan pankreatitis dengan asam valproat dan hiperaktivitas, mudah marah, kelesuan, gangguan tidur, dan reaksi hipersensitivitas dengan phenobarbital; kelesuan, mengantuk, dan ataksia untuk diazepam yang diberikan secara intermitten serta menutupi risiko yang berkembang infeksi sistem saraf pusat. 
  • Penilaian keuntungan/kerugian: kelebihan bahaya dibanding keuntungan. 
  • Tingkat kebijakan: rekomendasi. 

KEUNTUNGAN DAN RISIKO TERAPI ANTIKONVULSAN YANG DIBERIKAN SECARA BERKELANJUTAN
Fenobarbital
Fenobarbital efektif dalam mencegah kekambuhan dari kejang demam sederhana. Pada penelitian double-blind terkontrol, terapi harian dengan fenobarbital mengurangi angka kejang demam berikutnya dari 25/100 orang/tahun menjadi 5/100 orang/tahun. Untuk lebih efektif, sebaiknya diberikan tiap hari dan dijaga pada kisaran terapi. Pada penelitian oleh Farwell dan kawan-kawan, misalnya, anak dengan kadar fenobarbital dalam kisaran terapi memiliki penurunan kekambuhan dari kejang, namun karena ketidakpatuhan sangat tinggi, keseluruhan keuntungan terapi fenobarbital tidak teridentifikasi.

Efek samping fenobarbital meliputi hiperaktivitas, sensitif, letargi, gangguan tidur, dan reaksi hipersensitivitas. Efek samping perilaku dapat terjadi pada 20-40% pasien dan mungkin cukup berat sehingga harus menghentikan pengobatan.

Pirimidone
Pirimidone, pada dosis 15-20 mg/kgBB/hari, juga telah ditunjukkan untuk mengurangi tingkat rekurensi kejang demam. Hal ini menarik perhatian bahwa kadar derivat fenobarbital pada penelitian Minigawa dan Miura berada di bawah terapeutik (16 μg/mL) pada 29 dari 32 anak, menganjurkan bahwa pirimidone berperan dalam menghambat kambuhnya kejang. Sama halnya dengan fenobarbital, efek samping meliputi gangguan perilaku, sensitif, dan gangguan tidur.

Asam Valproat
Pada penelitian terkontrol, secara acak, hanya 4% anak yang menggunakan asam valproat, dibandingkan dengan 35% pada subyek kontrol, mendapatkan kejang demam berikutnya. Oleh karena itu, asam valproat nampaknya paling tidak sama efektifnya dengan fenobarbital dalam mencegah rekurensi kejang demam sederhana dan lebih efektif dibandingkan dengan plasebo.

Kekurangan terapi menggunakan asam terkadang berhubungan dengan hepatotoksisitas berat (khususnya pada anak berusia kurang dari 2 tahun, yang juga memiliki resiko tinggi terhadap kejang demam), trombositopenia, penurunan berat badan, gangguan gastrointestinal, dan pankreatitis. Pada penelitian dimana anak-anak mendapatkan asam valproat untuk mencegah rekurensi kejang demam, tidak ada kasus hepatotoksisitas berat yang dilaporkan.

Carbamazepine
Carbamazepine tidak efektif dalam mencegah rekurensi kejang demam sederhana. Antony dan Hawke membandingkan anak-anak yang diterapi baik dengan fenobarbital ataupun carbamazepine pada dosis terapi, dan 47% anak pada kelompok carbamazepine mengalami kejang kambuhan dibandingkan dengan 10% pada kelompok fenobarbital. Pada penelitian yang lain, Camfield dan kawan-kawan mengobati anak-anak (yang gagal membaik dengan terapi fenobarbital) dengan carbamazepine. Walaupun patuh dalam minum obat, 13 dari 16 anak mengalami rekurensi dari kejang demam dalam waktu 18 bulan. Hal ini dimungkinkan secara teori bahwa angka rekurensi yang tinggi mungkin diakibatkan oleh efek samping dari carbamazepine.

Fenitoin
Fenitoin tidak menunjukkan efektif dalam mencegah rekurensi dari kejang demam sederhana, bahkan ketika dalam dosis terapi. Antikonvulsan lain belum dilakukan penelitian untuk terapi berkelanjutan dari kejang demam sederhana.

PERNYATAAN
DEFINISI
KETERANGAN
Rekomendasi kuat
Rekomendasi kuat untuk menyokong tindakan khusus dibuat ketika keuntungan dari intervensi yang direkomendasikan melebihi kerugiannya (sebagaimana rekomendasi kuat melawan tindakan dibuat ketika kerugian melebihi keuntungannya) dan kualitas bukti pendukung sangat baik. Pada beberapa keadaan yang baik, rekomendasi kuat dibuat ketika bukti berkualitas tidak didapatkan dan keuntungannya lebih banyak daripada kerugian.
Klinisi harus mengikuti rekomendasi kuat kecuali terdapat pendekatan alternatif yang jelas dan rasional
Rekomendasi
Rekomendasi untuk tindakan khusus dibuat jika keuntungan melebihi kerugian namun kualitas bukti tidak begitu kuat. Rekomendasi juga dibuat pada keadaan yang baik, jika tidak didapatkan bukti berkualitas namun keuntungan lebih banyak daripada kerugian.
Klinisi perlu bijaksana mengikuti rekomendasi namun harus selalu siap dengan informasi baru dan sensitif pada pilihan pasien.
Pilihan
Pilihan berarti bagian yang diambil ketika kualitas bukti dicurigai atau dilakukan dengan hati-hati menunjukkan   sedikit keuntungan pada sebuah pendekatan dibandingkan yang lainnya
Klinisi perlu mempertimbangkan pilihan pada pembuatan keputusannya dan pilihan pasien mungkin memiliki peran penting.
Tidak ada rekomendasi
Tidak ada rekomendasi mengindikasikan   bahwa terdapat kekurangan bukti yang berhubungan dan bahwa keseimbangan dari keuntungan dan kerugian tidak jelas.
Klinisi perlu siap dengan bukti baru yang menjelaskan keseimbangan keuntungan melawan kerugian.

KEUNTUNGAN DAN RISIKO TERAPI ANTIKONVULSAN YANG DIBERIKAN SECARA INTERMITEN
Diazepam
Penelitian dengan metode double-blind terkontrol pada pasien dengan riwayat kejang demam menunjukkan bahwa penggunaan diazepam oral yang diberikan saat demam dapat mengurangi rekurensi kejang demam. Anak-anak dengan riwayat kejang demam diberi dizepam oral (0.33 mg/kg, setiap 8 jam selama 48 jam) atau plasebo pada saat demam. Risiko kejang demam pada setiap orang dalam setahun menurun 44% dengan pemberian diazepam. Lebih dari satu penelitian yang dilakukan baru-baru ini menunjukkan bahwa anak dengan riwayat kejang demam diberi diazepam oral pada saat demam kemudian dibandingkan dengan anak yang tidak diberi diazepam sebagai kelompok kontrol. Pada kelompok anak yang mendapatkan diazepam terjadi rekurensi sebesar 11% dibandingkan dengan kelompok kontrol yang terjadi rekurensi sebesar 30%. Jika pada kelompok anak yang mendapatkan diazepam ada yang tidak patuh dengan pengobatan yang diberikan maka dikategorikan gagal, ketidakpatuhan ini bisa disebabkan oleh adanya efek samping diazepam yang muncul.

Terdapat sebuah literatur lain yang menyebutkan kelayakan dan keamanan menghentikan kejang demam sederhana yang berlangsung kurang dari lima menit dengan diazepam oral serta dengan midazolam intranasal dan bukal. Meskipun obat-obat ini efektif menghentikan kejang, namun pengaruh jangka panjang pada hasil terapi masih dipertanyakan. Dua belas tahun follow-up menunjukkan bahwa prognosis jangka panjang anak dalam kedua kelompok tidak berbeda dengan tidak menghiraukan terapi yang bertujuan untuk mencegah atau mengobati kejang.

Kelemahan potensial pada obat yang diberikan secara intermiten adalah kejang dapat muncul sebelum kejang terjadi. Hal ini tentu saja dapt terjadi karena menurut beberapa penelitian menunjukkan bahwa kejang yang berulang kemungkinan karena metode pengobatan yang gagal dan bukan karena obat yang gagal.

Efek samping diazepam oral dan rektal dan midazolam intranasal dan bukal meliputi letargi, mengantuk, dan ataksia. Depresi sistem respirasi sangat jarang, bahkan ketika diberikan per rektal. Sedasi disebabkan oleh jenis benzodiazepine, baik yang diberikan secara oral, rektal, nasal, atau pun bukal, yang mempunyai efek seperti infeksi pada sistem saraf pusat. Jika jenis ini digunakan, pelayanan kesehatan anak yang profesional harus dihubungi.

KEUNTUNGAN DAN RESIKO ANTIPIRETIK YANG DIBERIKAN SECARA INTERMITEN
Tidak ada penelitian yang menunjukkan bahwa antipiretik yang diberikan saat tidak dalam kondisi kejang menurunkan risiko rekurensi kejang demam sederhana. Camfield dan kawan-kawan mengobati 79 anak yang mengalami pertama kali peristiwa kejang demam sederhana dengan plasebo yang ditambah antipiretik (baik aspirin ataupun asetaminofen) dibandingkan dengan phenobarbital yang diberikan setiap hari ditambah dengan antipiretik (baik aspirin ataupun asetaminofen). Risiko rekurensi lebih rendah secara signifikan pada kelompok yang diberikan fenobarbital, sedangkan pemberian antipiretik saja tidak tidak efektif dalam pencegahan rekurensi kejang demam.

Antipiretik yang diberikan secara teratur (setiap 4 jam) atau sporadis (bergantung pada kenaikan suhu tubuh tertentu) tidak mempengaruhi hasil pada 104 anak-anak, baik diberikan asetaminofen setiap 4 jam atau hanya saat suhu tubuh tinggi lebih dari 37,9°C.. Insiden episode demam tidak berbeda secara signifikan pada kedua kelompok dan tidak berbeda dalam hal rekurensi kejang demam awal. Penulis memutuskan bahwa pemberian profilaksis asetaminofen selama episode demam tidak efektif dalam mencegah atau mengurangi demam dan dalam mencegah rekurensi kejang demam.

Pada uji double-blind placebo-controlled, asetaminofen ini dikelola bersama dengan diazepam oral dosis rendah. Rerkurensi kejang demam tidak berkurang dibandingkan dengan kelompok kontrol. Seperti halnya dengan acetaminophen, ibuprofen juga telah terbukti tidak efektif dalam mencegah rekurensi kejang demam.

Secara umum, acetaminophen dan ibuprofen dianggap aman dan efektif antipiretik untuk anak-anak. Namun, hepatotoksisitas (dengan asetaminofen) dan kegagalan pernapasan, asidosis metabolik, gagal ginjal, dan koma (dengan ibuprofen) telah dilaporkan pada anak-anak setelah overdosis atau kehadiran faktor resiko.

KESIMPULAN
Subkomite telah menetapkan bahwa kejang demam sederhana adalah tidak berbahaya dan merupakan kejadian umum pada anak-anak usia antara 6 dan 60 bulan. Hampir semua anak mempunyai prognosis yang sangat baik. Komite menyimpulkan bahwa meskipun ada bukti bahwa kedua terapi antiepilepsi yang diberikan secara berkelanjutan dengan fenobarbital, primidone, atau asam valproat dan terapi intermiten diazepam oral efektif dalam mengurangi risiko rekurensi, toksisitas potensial yang terkait dengan obat-obatan antiepilepsi adalah lebih berat daripada risiko kecil yang terkait dengan kejang demam sederhana. Dengan demikian, terapi jangka panjang tidak dianjurkan. Pada situasi di mana kecemasan orangtua terkait dengan kejang demam adalah sangat besar, diazepam oralyang diberikan secara intermiten pada onset penyakit demam mungkin efektif dalam mencegah rekurensi. Meskipun antipiretik dapat meningkatkan kenyamanan anak, antipiretik tersebut tidak akan mencegah kejang demam.

DAFTAR PUSTAKA
Steering Committee on Quality Improvement and Management, Subcommittee on Febrile Seizures. 2008. Febrile Seizures: Clinical Practice Guideline for the Long-term Management of the Child With Simple Febrile Seizures. American Academy of Pediatrics; 121 (6), pp. 1281-1286.

Comments

Popular posts from this blog

Langkah Awal Resusitasi Neonatus dengan HAIKAL

Dalam melakukan tindakan resusitasi neonatus, perlu kita perhatikan kesiapan semua aspek. Mulai dari kesiapan alat, kesiapan penolong, kesiapan ruangan, kesiapan tim, bahkan kesiapan dari keluarga untuk mengantisipasi semua hal yang dapat terjadi pada saat proses persalinan. Neonatus dilahirkan ke dunia butuh proses untuk mengadaptasikan dirinya yang awalnya berada intrauterine untuk menjadi tumbuh dan berkembang secara ekstrauterine. Semua itu butuh kesiapan dari seluruh organ yang ada di dalam tubuhnya untuk beradaptasi dengan lingkungan yang baru.

Penilaian VTP Tidak Efektif dengan SRIBTA

Ada kalanya dalam melakukan tindakan resusitasi neonatus kita memerlukan tindakan pemberian ventilasi tekanan positif (VTP) dikarenakan kondisi pernafasan bayi belum adekuat untuk bisa bertahan hidup dalam proses adaptasinya dengan lingkungan ekstrauterine. Pemberian VTP diindikasikan pada kondisi berikut, yaitu pertama terjadinya pernafasan yang megap-megap dari bayi atau apneu. Yang kedua, walau bayi dapat bernafas spontan, namun frekuensi jantung kurang dari 100x/menit. Selanjutnya, yang ketiga, SpO2 yang terukur berada di bawah target SpO2 walaupun sudah diberikan O2 aliran bebas.

Perbedaan Visum et Repertum, Rekam Medis, dan Surat Keterangan Ahli

Pada postingan sebelumnya, telah dijelaskan apa itu visum et repertum, rekam medis, maupun surat keterangan ahli. Namun, tahukah anda apa perbedaan dari tiap istilah tersebut ? Mungkin tabel berikut dapat menjelaskan apa sebenarnya perbedaan dari ketiga istilah tersebut. Silakan dibaca secara seksama apa perbedaan dari tiap istilah tersebut. Apabila masih ada pertanyaan yang muncul di kepala terkait istilah-istilah ini, ditanyakan melalui kolom komentar di bawah agar lebih jelas. Segala pertanyaan akan saya usahakan untuk dijawab sebisa mungkin. Semoga semua puas, terima kasih.