PENDAHULUAN
Konstipasi bukan merupakan suatu penyakit, melainkan suatu keluhan yang muncul akibat kelainan fungsi dari kolon dan anorektal. Konstipasi atau sembelit adalah terhambatnya defekasi dari kebiasaan normal. Pengertian ini dapat diartikan sebagai defekasi yang jarang, jumlah feses yang kurang, konsistensinya keras dan kering. Konstipasi bersinonim dengan obstipasi.
Hampir setiap orang suatu saat pasti akan mengalami konstipasi. Penyebab terbanyak adalah diit yang kurang baik dan kurang olah raga. Pada sebagian besar kasus, konstipasi biasanya hanya bersifat sementara, dan tidak berbahaya. Di Amerika Serikat lebih dari 4 juta penduduk mempunyai keluhan sering konstipasi, hingga prevalensinya mencapai sekitar 2 %. Konstipasi diperkirakan menyebabkan 2,5 juta penderita berkunjung ke dokter setiap tahunnya. Sebagian besar penderita konstipasi dapat diobati secara medik. Keluhan konstipasi dialami penduduk kulit berwarna 1,3 kali lebih sering dibanding kulit putih. Perbandingan laki : perempuan sekitar 1 : 3. Konstipasi dapat terjadi pada segala usia, dari bayi sampai orang tua. Makin tua makin meningkat frekuensinya. Di atas usia 65 tahun 30 – 40 % penderita mengalami masalah dengan keluhan konstipasi ini.
DEFINISI
Definisi kontipasi bersifat relatif, tergantung pada konsistensi tinja, frekuensi buang air besar dan kesulitan keluarnya tinja. Pada anak normal yang hanya berak setiap 2-3 hari dengan tinja yang lunak tanpa kesulitan, bukan disebut konstipasi. Konstipasi adalah persepsi gangguan buang air besar berupa berkurangnya frekuensi buang air besar, sensasi tidak puasnya buang air besar, terdapat rasa sakit, harus mengejan atau feses keras.
Konstipasi berarti bahwa perjalanan tinja melalui kolon dan rektum mengalami penghambatan dan biasanya disertai kesulitan defekasi. Disebut konstipasi bila tinja yang keluar jumlahnya hanya sedikit, keras, kering, dan gerakan usus hanya terjadi kurang dari 3 x dalam 1 mnggu.
Kriteria baku untuk menentukan ada tidaknya konstipasi telah ditetapkan, meliputi minimal 2 keluhan dari beberapa keluhan berikut yang diderita penderita minimal 25 % selama minimal 3 bulan : (1) tinja yang keras, (2) mengejan pada saat defekasi, (3) perasaan kurang puas setelah defekasi, dan (4) defekasi hanya 2 x atau kurang dalam seminggu.
Pada tahun 1999 Komite Konsensus Internasional telah membuat suatu pedoman untuk membuat diagnosis konstipasi. Diagnosis dibuat berdasar pada adanya keluhan paling sedikit 2 dari beberapa keluhan berikut, minimal dalam waktu 1 tahun tanpa pemakaian laksans (kriteria Roma II), yaitu (Whitehead 1999) : (1) defekasi kurang dari 3x/minggu, (2) mengejan berlebihan minimal 25 % selama defekasi, (3) perasaan tidak puas berdefekasi minimal 25 % selama defekasi, (4) tinja yang keras minimal 25 %, (5) perasaan defekasi yang terhalang, dan (6) penggunaan jari untuk usaha evakuasi tinja.
EPIDEMIOLOGI
Sesuai dengan sigi “National Health Interview” di Amerika Serikat lebih dari 4 – 4,5 juta penduduk mempunyai keluhan sering konstipasi, hingga prevalensinya mencapai sekitar 2 %. Penderita yang mengeluh konstipasi ini kebanyakan adalah wanita, anak-anak, dan orang dewasa di atas usia 65 tahun. Wanita hamil juga sering mengeluh konstipasi, demikian pula setelah melahirkan atau pasca bedah. Konstipasi diperkirakan menyebabkan 2,5 juta penderita berkunjung ke dokter setiap tahunnya. Sebagian besar penderita konstipasi dapat diobati secara medik, menghasilkan perbaikan keluhan. Namun sebagian kecil merasa terganggu akibat konstipasi ini. Beberapa penderita dengan konstipasi fungsional (mis. “inersia kolon”), bahkan membutuhkan kolektomi abdominal total dengan anastomosis ileorectal.
Keluhan konstipasi dialami penduduk kulit berwarna 1,3 kali lebih sering dibanding kulit putih. Perbandingan laki : perempuan sekitar 1 : 3. Konstipasi dapat terjadi pada segala usia, dari bayi sampai orang tua. Makin tua makin meningkat frekuensinya. Di atas usia 65 tahun 30 – 40 % penderita mengalami masalah dengan keluhan konstipasi ini. Namun sebagian besar penderita biasanya hanya melakukan pengobatan sendiri, tanpa pergi ke dokter.
ETIOLOGI
Penyebab konstipasi biasanya multifaktor, misalnya : Konstipasi sekunder (diit, kelainan anatomi, kelainan endokrin dan metabolik, kelainan syaraf, penyakit jaringan ikat, obat, dan gangguan psikologi), konstipasi fungsional (konstipasi biasa, “Irritabel bowel syndrome”, konstipasi dengan dilatasi kolon, konstipasi tanpa dilatasi kolon , obstruksi intestinal kronik, “rectal outlet obstruction”, daerah pelvis yang lemah, dan “ineffective straining”), dan lain-lain (diabetes melitus, hiperparatiroid, hipotiroid, keracunan timah, neuropati, Parkinson, dan skleroderma).
Konstipasi sekunder
- Pola hidup : Diet rendah serat, kurang minum, kebiasaan buang air besar yang buruk, kurang olah raga.
- Kelainan anatomi (struktur) : fissura ani, hemoroid, striktur, dan tumor, abses perineum, megakolon.
- Kelainan endokrin dan metaolik : hiperkalsemia, hipokalemia, hipotiroid, DM, dan kehamilan.
- Kelainan syaraf : stroke, penyakit Hirschprung, Parkinson, sclerosis multiple, lesi sumsum tulang belakang, penyakit Chagas, disotonomia familier.
- Kelainan jaringan ikat : skleroderma, amiloidosis, “mixed connective-tissue disease”.
- Obat : antidepresan (antidepresan siklik, inhibitor MAO), logam (besi, bismuth), anti kholinergik, opioid (kodein, morfin), antasida (aluminium, senyawa kalsium), “calcium channel blockers” (verapamil), OAINS (ibuprofen, diclofenac), simpatomimetik (pseudoephidrine), cholestyramine dan laksan stimulans jangka panjang.
- Gangguan psikologi (depresi).
Konstipasi fungsional (kontipasi simple atau temporer)
- Konstipasi biasa : akibat menahan keinginan defekasi.
- “Irritabel bowel syndrome”
- Konstipasi dengan dilatasi kolon : “idiopathic megacolon or megarektum”
- Konstipasi tanpa dilatasi kolon : “idiopathic slow transit constipation”
- Obstruksi intestinal kronik.
- “Rectal outlet obstruction” : anismus, tukak rectal soliter, intusesepsi.
- Daerah pelvis yang lemah : “descending perineum”, rectocele.
- Mengejan yang kurang efektif (“ineffective straining”)
Penyebab lain
- Diabetes mellitus
- Hiperparatiroid
- Hipotiroid
- Keracunan timah (“lead poisoning”)
- Neuropati
- Penyakit Parkinson
- Skleroderma
- Idiopatik : Transit kolon yang lambat, pseudo-obstruksi kronik.
Pola Hidup
Pola hidup seperti diet rendah serat, kurang minum dan olahraga merupakan penyebab tersering dari konstipasi. Penyebab umum dari konstipasi adalah diit yang rendah serat, seperti terdapat pada sayuran, buah, dan biji-bijian, dan tinggi lemak seperti dalam keju, mentega, telur dan daging. Mereka yang makan makanan yang kaya serat biasanya lebih jarang yang mengalami konstipasi Diit rendah serat juga memegang peranan penting untuk timbulnya konstipasi pada usia lanjut. Mereka biasanya kurang berminat untuk makan, dan lebih senang memilih makanan cepat saji yang kadar seratnya rendah. Selain itu, berkurangnya jumlah gigi, memaksa mereka lebih suka makan makanan lunak yang sudah diproses dengan kadar serat yang rendah.
Dalam keadaan normal cairan akan mengisi sebagian besar usus dan feces sehingga feces mudah dikeluarkan. Penderita konstipasi sebaiknya minum air yang cukup, kira-kira 8 liter per hari. Cairan yang mengandung kafein, seperti kopi dan kola, serta alkohol memiliki efek dehidrasi, sehingga dapat meyebabkan konstipasi. urang olahraga dapat menyebabkan terjadinya konstipasi, meskipun belum diketahui dengan pasti patogenesisnya. Sebagai contoh, konstipasi sering terjadi pada orang sakit yang melakukan istirahat yang panjang.
Irritable Bowel Syndrome (IBS)
Beberapa penderita IBS mengalami spasme pada colon yang akan mempengaruhi peristaltik usus dan proses pengeluaran feces. Konstipasi dan diare muncul bergantian, kram perut dan kembung merupakan gejala yang paling sering muncul.
Perubahan kegiatan rutin (Kehamilan, Proses penuaan, Travelling)
Terjadinya konstipasi pada masa kehamilan mungkin disebabkan karena perubahan hormonal dan uterus yang membesar menekan usus. Proses penuaan menyebabkan menurunnya proses metabolisme pada intestinal dan pada tonus otot.
Orang sering mengalami konstipasi ketika melakukan perjalanan disebabkan oleh perubahan pola diet normal harian yang biasanya dikonsumsi.
Penggunaan Laxatives
Laxatives dapat merusak sel saraf pada usus besar dan menggangu kemampuan kontrasksi dari usus besar.
PATOFISIOLOGI
Buang air besar yang normal frekuensinya adalah 3 kali sehari sampai 3 hari sekali. Dalam praktek dikatakan konstipasi bila buang air besar kurang dari 3 kali perminggu atau lebih dari 3 hari tidak buang air besar atau dalam buang air besar harus mengejan secara berlebihan.
Kolon mempunyai fungsi menerima bahan buangan dari ileum, kemudian mencampur, melakukan fermentasi, dan memilah karbohidrat yang tidak diserap, serta memadatkannya menjadi tinja. Fungsi ini dilaksanakan dengan berbagai mekanisme gerakan yang sangat kompleks. Pada keadaan normal kolon harus dikosongkan sekali dalam 24 jam secara teratur.). Diduga pergerakan tinja dari bagian proksimal kolon sampai ke daerah rektosigmoid terjadi beberapa kali sehari, lewat gelombang khusus yang mempunyai amplitudo tinggi dan tekanan yang berlangsung lama. Gerakan ini diduga dikontrol oleh pusat yang berada di batang otak, dan telah dilatih sejak anak-anak.
Proses sekresi di saluran cerna mungkin dapat megalami gangguan, yaitu kesulitan atau hambatan pasase bolus di kolon atau rektum, sehingga timbul kesulitan defekasi atau timbul obstipasi. Gangguan pasase bolus dapat diakibatkan oleh suatu penyakit atau dapat karena kelainan psikoneuorosis. Yang termasuk gangguan pasase bolus oleh suatu penyakit yaitu disebabkan oleh mikroorganisme (parasit, bakteri, virus), kelainan organ, misalnya tumor baik jinak maupun ganas, pasca bedah di salah satu bagian saluran cerna (pasca gastrektomi, pasca kolesistektomi).
Untuk mengetahui bagaimana terjadinya konstipasi, perlu diingat kembali bagaimana mekanisme kerja kolon. Begitu makanan masuk ke dalam kolon, kolon akan menyerap air dan membentuk bahan buangan sisa makanan, atau tinja. Kontraksi otot kolon akan mendorong tinja ini ke arah rektum. Begitu mencapai rektum, tinja akan berbentuk padat karena sebagian besar airnya telah diserap. Tinja yang keras dan kering pada konstipasi terjadi akibat kolon menyerap terlalu anyak air. Hal ini terjadi karena kontraksi otot kolon terlalu perlahan-lahan dan malas, menyebabkan tinja bergerak ke arah kolon terlalu lama.
Konstipasi umumnya terjadi karena kelainan pada transit dalam kolon atau pada fungsi anorektal sebagai akibat dari gangguan motilitas primer, penggunaan obat-obat tertentu atau berkaitan dengan sejumlah besar penyakit sistemik yang mempengaruhi traktus gastrointestinal.
Konstipasi dapat timbul dari adanya defek pengisian maupun pengosongan rektum. Pengisian rektum yang tidak sempurna terjadi bila peristaltik kolon tidak efektif (misalnya, pada kasus hipotiroidisme atau pemakaian opium, dan bila ada obstruksi usus besar yang disebabkan oleh kelainan struktur atau karena penyakit hirschprung). Statis tinja di kolon menyebabkan proses pengeringan tinja yang berlebihan dan kegagalan untuk memulai reflek dari rektum yang normalnya akan memicu evakuasi. Pengosongan rektum melalui evakuasi spontan tergantung pada reflek defekasi yang dicetuskan oleh reseptor tekanan pada otot-otot rektum, serabut-serabut aferen dan eferen dari tulang belakang bagian sakrum atau otot-otot perut dan dasar panggul. Kelainan pada relaksasi sfingter ani juga bisa menyebabkan retensi tinja.
Konstipasi cenderung menetap dengan sendirinya, apapun penyebabnya. Tinja yang besar dan keras di dalam rektum menjadi sulit dan bahkan sakit bila dikeluarkan, jadi lebih sering terjadi retensi dan terbentuklah suatu lingkaran setan. Distensi rektum dan kolon mengurangi sensitifitas refleks defekasi dan efektivitas peristaltik. Akhirnya, cairan dari kolon proksimal dapat menapis disekitar tinja yang keras dan keluar dari rektum tanpa terasa. Gerakan usus yang tidak disengaja (encopresis) mungkin keliru dengan diare.
MANIFESTASI KLINIS
Penderita yang mengalami konstipasi biasanya merasa defekasinya menjadi sulit dan nyeri, tinja keras, mengejan pada saat defekasi, perasaan kurang puas setelah defekasi, defekasi hanya 3x atau kurang dalam seminggu. Keluhan lain yang bisa timbul adalah perasaan kembung, kurang enak, dan malas.
Penderita dapat juga tanpa keluhan sama sekali, atau mempunyai keluhan lain seperti : perut kembung, nyeri waktu defekasi, “rectal bleeding” (perdarahan rektum), diare “spurious” (sedikit-sedikit), dan nyeri pinggang bagian bawah (LBP).11
Penderita biasanya mengeluh beberapa hari tak dapat defekasi dan kalau defekasi selalu susah. Tinja yang keluar keras dan kehitam-hitaman. Perut selalu dirasa penuh serta dirasa mendesak keatas, kembung, berbunyi,mual-mual. Rasa mulas di perut kiri pada daerah sigmoid dan kolon desendens. Keluhan lain yang sering dirasakan ialah mulut rasa pahit, lidah kering, kepala pusing, nafsu makan menurun. Bilamana konstipasi berlangsung lama, maka keluhan tersebut diatas makin bertambah berat, bahkan sampai timbulnya gejala obstruksi intestinal.13
DIAGNOSIS
Anamnesis
Anamnesis yang seksama dan hati-hati merupakan salah satu cara yang sangat penting untuk mencari penyebab konstipasi. Dengan menanyakan tipe dan derajat gangguan konstipasi dapat diperkirakan etiologi dari keluhan tersebut. Termasuk dalam gangguan ini antara lain : lamanya usaha untuk melakukan defekasi, jumlah defekasi per minggunya, dan ada tidaknya keluhan mengejan dan atau tinja yang keras.
Anamnesis yang akurat untuk mendeteksi adanya penurunan berat badan, perdarahan saluran cerna, riwayat keluarga kanker, pola buang air besar sebelumnya.6
Sebagian besar penderita dengan konstipasi kronik pada umumnya tidak menunjukkan penyebab yang spesifik pada saat pemeriksaan pertama. Anamnesis yang teliti harus dapat mendeteksi penyebab terbanyak dari konstipasi yaitu : (1) konstipasi pasca bedah, (2) tirah baring yang terlalu lama, (3) sisa barium setelah pemeriksaan barium enema, atau (4) obat-obat yang dapat menimbulkan konstipasi (misalnya : opioid, antikholinergik).
Pada penderita tua yang melakukan tirah baring, penting untuk menyingkirkan adanya dehidrasi yang berat dan kelainan elektrolit. Singkirkan dulu setiap komplikasi konstipasi yang dapat mengancam hidup penderita (misalnya, volvulus) dan ingat bahwa penderita mungkin mengalami perforasi usus setelah dilakukan klisma dengan air hangat di rumah. Keluhan berikut juga dapat dipakai sebagai dugaan bahwa penderita mengalami kesulitan defekasi : perasaan kurang puas setelah defekasi, sering dilakukan evakuasi feses dengan jari, “tenesmus”, dan retensi pada saat dikerjakan klisma.
Uraian yang tepat tentang gejala dan lama terjadinya harus didapat. Konstipasi yang ditemukan sejak lahir atau sejak awal usia kanak-kanak cenderung bersifat kongenital, sementara awitan yang terjadi kemudian menunjukkan penyakit yang di dapat. Penjelasan mengenai frekuensi dan sifat defekasi harus dinyatakan, termasuk keluhan mengejan yang berlebihan saat defekasi, adanya skibala yang keras, atau perasaan pengeluaran kotoran yang tidak tuntas. Pasien harus ditanya mengenai nyeri abdomen dan kembung yang terkait dan gejala-gejala saluran kemih atau saluran makanan bagian atas. Pertanyaan ini penting untuk mendapatkan riwayat pemakaian laksatif dan lamanya.
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik sering kurang bermanfaat untuk menetapkan penyebab serta pengobatan konstipasi. Pemeriksaan fisik untuk menilai keadaan sistemik dan local, terutama tanda adanya masa intra abdomen, peristaltik usus dan colok dubur.
Pemeriksaan fisik harus ditujukan pada deteksi penyakit-penyakit nongastrointestinal yang dapat turut menjadi penyebab timbulnya konstipasi. Perhatian khusus harus diberikan pada pemeriksaan neurologis, termasuk penilaian terhadap fungsi autonom. Abdomen harus diperiksa untuk mencari tanda-tanda pembedahan sebelumnya, distensi usus atau feses yang tertahan. Pemeriksaan perineum dan anorektal harus dilakukan untuk menemukan bukti adanya deformitas, atrofi otot gluteus, prolapsus rekti, stenosis ani, fissura ani, masa rektum atau fecal impaction. Pasien dapat diminta untuk mengejan agar bukti yang menunjukan adanya rektokel, atau prolapsus rekti dapat terlihat. Adanya “ kedipan anus “ harus dinilai dengan menunjukkan kontraksi refleks kanalis ani setelah rasa ditusuk peniti pada perineum.
Pemeriksaan fisik sering kurang bermanfaat untuk menetapkan penyebab serta pengobatan konstipasi, kecuali pada kejadian berikut ini :
- Adanya masa yang teraba pada pemeriksaan abdomen.
- Lesi anorectal, yang diduga menjadi penyebab konstipasi (misalnya : fisura ani, fistula ani, striktur, kanker, hemoroid yang memgalami trombosis)
- Intususepsi yang tampak pada saat mengejan.
Pemeriksaan colok dubur (RT) sering bermanfaat untuk dipakai menemukan kelainan berikut ini :
- Masa anorektal.
- Tonus sfingter ani internal.
- Kekuatan sfingter ani eksternal dan otot puborectalis.
- Adanya “gross blood” atau “occult bleeding” dengan memeriksa tes guaiak tinja.
- Jumlah dan konsistensi tinja : pada “pelvis outlet dysfunction”, akan ditemukan tinja lebih banyak di daerah “rectal vault” dari pada pada “colonic inertia” atau “irritable bowel syndrome”, di mana di antara defekasi biasanya hanya ditemukan sisa tinja dalam jumlah yang lebih sedikit atau tidak ada sama sekali. “Pelvis floor dysfunction” (disfungsi dasar panggul) dapat memberi gejala khas berupa kegagalan memberi tekanan pada jari pada saat mengejan pada waktu dilakukan pemeriksaan colok dubur.
- Anus kaku atau spastik, yang menunjukkan adanya lesi anus.
- Lumen dari rektum biasanya membesar dan biasanya teraba “ faecal mass”.
Pemeriksaan laboratorium
Perlu diperhatikan warna, bentuk, besarnya dan konsistensi dari masa fekal. Pemeriksaan kimia darah dapat dipakai untuk menyingkirkan kelainan metabolik sebagai penyebab konstipasi, seperti : hipokalemia dan hiperkalsemia. Pemeriksaan darah lengkap dapat menunjukkan adanya anemia akibat perdarahan per anum (“gross” atau “occult”). Tes fungsi tiroid dapat digunakan untuk mendiagnosis adanya hipotiroid.
Pemeriksaan radiologi
Foto polos abdomen (berdiri dan berbaring) : dapat menunjukkan jumlah tinja dalam kolon penderita. Dengan demikian diagnosis banding antara : “fecal impaction”, obstruksi usus, dan “fecalith” dapat dibuat. Diagnosis adanya “fecalith” penting untuk dipastikan karena kemungkinan terjadinya komplikasi “stercoral ulcers”, yang dapat menimbulkan perforasi kolon dapat terjadi setiap saat. Gastropati diabetik, seperti halnya “fecal impaction”, dapat timbul pada penderita neuropati diabetik. Sisa barium (sesudah pemeriksaan barium enemas) dapat juga tampak pada foto polos abdomen.
Skleroderma dan penyakit jaringan ikat yang lain, dapat disertai gangguan motorik yang dapat menutupi gejala-gejala obstruksi kolon pada pemeriksaan foto polos abdomen “Myxedema ileus” dapat terjadi akibat hipotiroid.
Pemeriksaan lain-lain
Rektosigmoidoskopi
Perlu dikerjakan dan diperhatikan membran mukosa, untuk memperhatikan ada tidaknya tanda-tanda kataral proktosigmoiditis dan melanosis koli. Pada penderita yang biasa mempergunakan laksatif atau terlalu sering melakukan lavement, maka terlihat tanda-tanda inflamasi yang ringan yaitu mukosa membran terlihat kuning kecoklat-coklatan. Sering terlihat bahwa sigmoid mengalami dilatasi, sehingga instrument dapat dengan mudah masuk ke sigmoid.
Pemeriksaan ekstensif yang lebih teliti pada penderita konstipasi dapat dilakukan secara poliklinik, biasanya baru dikerjakan bila keluhan berlangsung lebih dari 3 – 6 bulan, dan pengobatan medik tidak ada hasilnya.
Pemeriksaan ini dapat dilakukan untuk melihat baik anatomi (barium enema, proktosigmoidoskopi, kolonoskopi) maupun fisiologi (colonic transit study, defecography, manometry, electromyography).
Kolonoskopi atau sigmoidoskopi fleksibel dapat memeperlihatkan melanosis koli sebagai bercak berwarna hitam coklat pada mukosa usus yang terjadi akibat penggunaan preparat laksatif antrakuinon secara kronik.
Tidak adanya haustra pada endoskopi atau barium enema menunjukkan “kolon katartik” akibat penyalahgunaan preparat laksatif. Barium enema juga dapat memperlihatkan lesi obstruktif kolon, penyakit mega kolon atau mega rektum, dan pada penyakit hirschsprung akan menunjukkan segmen usus yang mengalami denervasi serta memperlihatkan gambaran yang khas dengan dilatasi segmen kolon yang proksimal. Pada kasus-kasus seperti ini, biopsi rektum dapat dilakukan untuk menunjukkan tidak adanya neuron.
Beberapa prosedur yang dapat dikerjakan untuk membantu diagnosis:
Anoscopy/Proctoscopy: pemeriksaan ini dapat dilakukan secara rutin pada setiap penderita konstipasi untuk melihat adanya : fisura ani, tukak, hemoroid, dan keganasan lokal anorektal.
Digital disimpaction (disimpaksi dengan jari): dengan menggunakan sarung tangan yang telah di lubrikasi, tinja yang telah menekan daerah anorektal bawah selama beberapa lama dapat dilepaskan.
Klisma dengan air hangat : biasanya kurang popular, mungkin belum perlu dikerjakan pada penangan awal.
PENGOBATAN
Pengobatan utama adalah pemberian diit tinggi serat. “Bulking agents” merupakan pengobatan lini berikutnya. Pemberian klisma dapat dikerjakan untuk membantu melakukan evakuasi tinja secara total. Hindari pemakaian iritan atau perangsang peristaltik. Pemakaian obat-obat ini dalam jangka panjang pernah dilaporkan dapat menimbulkan kerusakan pada “myenteric plexus”, yang selanjutnya justru akan mengganggu gerakan usus.
Pada prinsipnya untuk merawat penderita konstipasi ialah :
- Harus dicari sebab-sebabnya.
- Memberi pendidikan atau pengertian kepada penderita, agar dapat melakukan defekasi secara alamiah.
- Menghentikan kebiasaan pemakaian laksatif dan enema.
- Mengembalikan dan membiasakan agar dapat defekasi sendiri tanpa obat-obatan
Oleh karena itu perawatan konstipasi untuk tiap penderita tidak selalu sama, dan harus dicari penyebabnya. Memberi penerangan kepada penderita, agar supaya secara teratur pada waktu-waktu yang tertentu melakukan defekasi.
Perhatian terhadap pengobatan yang spesifik seyogyanya lebih ditujukan pada evakuasi dari tinja, dibanding meningkatkan gerakan usus. Konsultasi dengan ahli bedah sebaiknya segera dikerjakan bila ada dugaan obstruksi intestinal atau volvulus. Penanganan konstipasi harus disesuaikan menurut keadaan masing-masing pasien dengan memperhitungkan lama dan intensitas konstipasi, faktor-faktor kontribusi yang potensial, usia pasien dan harapan pasien.
PERUBAHAN GAYA HIDUP
Diet
Makanan berserat, baik yang mudah larut maupun yang sulit larut, merupakan bagian dari buah-buahan, sayuran, dan biji-bijian, yang tidak dapat dicerna oleh tubuh. Makanan berserat yang mudah larut akan cepat melarut dalam air dan membentuk bahan “gel” dalam usus. Sebaliknya makanan berserat yang tidak larut, akan melewati usus tanpa mengalami perubahan Bahan serat yang berbentuk besar (“bulk”) dan lunak ini akan mencegah terjadinya tinja yang keras dan kering yang lebih sulit melewati usus.
Rata-rata orang Amerika makan 5 – 20 gram makanan berserat setiap harinya, lebih sedikit dibanding jumlah 20 – 35 gram yang dianjurkan oleh “the American Dietetic Association”. Baik anak-anak maupun orang dewasa makan terlalu banyak makanan yang sudah dibersihkan dan diproses, di mana serat alamiahnya sudah dibuang.
Terapi inisial biasanya berupa diet dengan penekanan pada peningkatan asupan serat makanan. Banyak pasien dengan konstipasi memperlihatkan responnya terhadap peningkatan asupan serat makanan hingga mencapaijumlah antara 20-30 gram/hari. Suplementasi serat dapat meningkatkan berat tinja serta frekuensi defekasi dan menurunkan waktu transit gastrointestinal.
Efek serat yang menghasilkan massa dalam kotoran dapat berhubungan dengan peningkatan retensi air maupun dengan proliferasi bakteri kolon yang memproduksi gas di dalam tinja.
Suplementasi serat bukan terapi yang tepat bagi pasien dengan lesi obstruktif traktus gastrointestinal atau bagi pasien penyakit megakolon atau megarektum.
Dianjurkan makanan yang banyak mengandung sayur-sayuran, buah-buahan, yang banyak mengandung selulosa. Selulosa yang dimakan susah dicerna, sebab didalam badan kita tidak mempunyai enzim selulosa. Jadi selulosa berguna untuk memperlancar defekasi.
Banyak minum dan olah raga
Cairan seperti air dan jus, menambah jumlah air yang masuk ke dalam kolon dan memperbesar bentuk tinja, dan membuat gerakan usus menjadi lebih per-lahan-lahan dan lebih mudah. Penderita yang mengalami masalah konstipasi, seyogyanya minum cukup air setiap harinya, sekitar 8 gelas perhari. (suyono)Cairan lain seperti kopi dan “soft drinks”, yang mengandung kafein, tampaknya mempunyai efek dehidrasi.
Kurang olah raga dapat menimbulkan konstipasi, tanpa diketahui penyebab sebenarnya. Sebagai contoh, konstipasi sering terjadi pada penderita setelah mengalami kecelakaan atau pada saat penderita diharuskan tirah baring dalam waktu yang lama karena penyakitnya.
PEMBERIAN OBAT
Pengobatan utama adalah pemberian diit tinggi serat. “Bulking agents” merupakan pengobatan lini berikutnya. Pemberian klisma dapat dikerjakan untuk membantu melakukan evakuasi tinja secara total. Hindari pemakaian iritan atau perangsang periltatik. Pemakaian obat-obat ini dalam jangka panjang pernah dilaporkan dapat menimbulkan kerusakan pada “myenteric plexus”, yang selanjutnya justru akan mengganggu gerakan usus.
Laksans
Sebagian besar penderita dengan konstipasi ringan biasanya tidak membutuhkan pemberian laksans. Namun bagi mereka yang telah melakukan perubahan gaya hidup, tetapi masih tetap mengalami konstipasi, pemberian laksans dan atau klisma untuk jangka waktu tertentu dapat dipertimbangkan. Pengobatan ini dapat menolong sementara untuk mengatasi konstipasi yang telah berlangsung lama akibat usus yang malas. Pada anak-anak, pengobatan laksans jangka pendek, untuk merangsang supaya usus mau bergerak secara teratur, juga dapat dipakai untuk mencegah konstipasi. Laksans dapat diberikan per oral, dalam bentuk cairan, tablet, bubuk. Ada beberapa macam cara kerjanya.
Bulk forming agents / hydrophilic
Digunakan untuk meningkatkan masa tinja, hingga akan merangsang terjadinya perilstatik. Bahan ini biasanya cukup aman, tetapi dapat mengganggu penyerapan obat lain. Laksans ini juga dikenal dengan nama “fiber supplements”, dan harus diminum dengan air. Dalam usus bahan ini akan menyerap air, dan membuat tinja menjadi lebih lunak. Beberapa contoh :
- Psyllium (Metamucil, Fiberall)
- Methylcellulose (Citrucel)
- Ispaghula (Mucofalk)
- Dietary brand
Emollients / softeners / sufactant / wetting agents
Menurunkan tekanan permukaan tinja, membantu penyampuran bahan cairan dan lemak, sehingga dapat melunakkan tinja. Pelunak tinja (“stool softeners”) dapat melembabkan tinja, dan menghambat terjadinya dehidrasi. Laksans ini banyak dianjurkan pada penderita setelah melahirkan atau pasca bedah.
Beberapa contohnya adalah :
- Docusate (Colace, Surfak)
- Mineral oil
- Polaxalko
Emollient stool softeners in combination with stimulants / irritant
“Emollient stool softeners” menyebabkan tinja menjadi lunak. Stimulan meningkatkan aktivitas perilstatik saluran cerna, menimbulkan kontraksi otot yang teratur (“rhythmic”). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa fenolftalen, yang dikandung dalam beberapa laksans stimulans, ternyata dapat meningkatkan resiko kanker. FDA telah melakukan pelarangan penjualan bebas produk yang mengandung bahan fenolftalen ini. Sebagian besar produsen laksans saat ini telah mulai mengganti fenolftalen dengan bahan yang lebih aman. Beberapa contoh nya adalah :
- Docusate sodium and casanthranol combination (Peri-Colace, Diocto C, Silace-C)
- Bisacodyl (Dulcolax)
- Brand names include Correctol®, Senna®, Purge®, Feen-A-Mint®, and Senokot®.
Osmotic laxatives
Mempunyai efek menahan cairan dalam usus, osmosis, atau mempengaruhi pola distribusi air dalam tinja. Laksans jenis ini mempunyai kemampuan seperi “spons”, menarik air ke dalam kolon, sehingga tinja mudah melewati usus.
Hyperosmolar laxatives :
- Polyethylene glycol solution (Miralax)
- Lactulose (Cephulac, Cholac, Constilac, Duphalac, Lactulax)
- Sorbitol
- Glycerine
Saline laxatives :
- Magnesium sulfate
- Magnesium hydroxide (Phillips' Milk of Magnesia)
- Sodium phosphate (Fleet enema)
- Magnesium phosphate
Penderita yang sudah tergantung pada pemakaian laksans ini, sebaiknya dianjurkan untuk menghentikan obat ini secara perlahan-lahan. Pada sebagian besar penderita, biasanya kemampuan untuk kontraksi kolon dapat dipulihkan kembali secara alamiah, dengan memperbaiki penyebab konstipasi tersebut.
Prokinetik
Obat-obat prokinetik telah dicoba untuk pengobatan konstipasi, tetapi belum banyak publikasi yang menunjukkan efektivitasnya. Obat prokinetik (seperti : cisapride dan metoclopramide) merupakan agonis 5HT4 dan antagonis 5HT3. Cisapride telah dilaporkan dapat memperbaiki keluhan penyakit refluks gastroesofagus, namun pada konstipasi belum banyak laporan yang ditulis.
Tegaserod, merupakan agonis parsial 5-HT4, dapat mempercepat transit orosekal (tanpa mempengaruhi pengosongan lambung) dan mempunyai tendensi untuk mempercepat transit kolon. Dalam uji klinik fase III, tegaserod 12 mg/hari, menghasilkan peningkatan kelompok “Irritabel bowel syndrome” tipe konstipasi yang mencapai tujuan utama “hilangnya keluhan “ penderita. Efek sekunder yang ditemukan termasuk antara lain perbaikan dalam konstipasi, nyeri sepanjang hari, dan rasa kembung.
Analog prostaglandin
Analog prostaglandin (misoprostil) dapat meningkatkan produksi PGE2 dan merangsang motilitas saluran cerna bagian bawah.
Klisma dan supositoria
Bahan tertentu dapat dimasukkan ke dalam anus untuk merangsang kontraksi dengan cara menimbulkan distensi atau lewat pengaruh efek kimia, untuk melunakkan tinja. Kerusakan mukosa rektum yang berat dapat terjadi akibat ekstravasasi larutan klisma ke dalam lapisan submukosa. Beberapa cara yang dapat dipakai :
- Klisma dengan PZ atau air biasa
- Na-fosfat hipertonik
- Gliserin supositori
- Bisacodyl supositori
PENGOBATAN LAIN
Pengobatan spesifik terhadap terhadap penyebab konstipasi, juga dapat dikerjakan tergantung apakah penyebabnya dapat dikoreksi atau tidak. Sebagai contoh, penghentian obat yang menimbulkan konstipasi, atau tindakan bedah untuk mengoreksi ada tidaknya kelainan anorektal, seperti prolapsus rekti.
Biofeedback
Penderita dengan konstipasi kronik akibat disfungsi anorektal dapat dicoba dengan pengobatan “biofeedback” untuk mengembalikan otot yang mengendalikan gerakan usus. “Biofeedback” menggunakan sensor untuk memonitor aktivitas otot yang pada saat yang sama dapat dilihat di layar komputer sehingga fungsi tubuh dapat diikuti dengan lebih akurat. Seorang ahli kesehatan yang professional, dapat menggunakan alat ini untuk menolong penderita mempelajari bagaimana cara menggunakan otot tersebut.
Dalam penelitian Houghton dan kawan-kawan (2002) ditemukan bahwa emosi dapat mempengaruhi persepsi dan distensi rektal pada penderita IBS. Juga dapat ditunjukkan bahwa pikiran mempunyai peranan yang sangat penting dalam modulasi faal saluran cerna.
Operasi
Tindakan bedah (subtotal colectomy dengan ileo-ractal anastomosis) hanya dilakukan pada penderita dengan keluhan yang berat akibat kolon yang tidak berfungsi sama sekali (“colonic inertia”). Namun tindakan ini harus dipertimbangkan sungguh-sungguh, karena komplikasinya cukup banyak seperti : nyeri perut dan diare.
PEMANTAUAN PENDERITA
Untuk penderita rawat inap
Penderita rawat inap dengan konstipasi yang perlu mendapat perhatian khusus, karena mungkin perlu evaluasi ahli bedah adalah :
- Adanya tanda-tanda obstruktif
- “Nonrectal impactions”
- Demam dan dehidrasi.
Penderita rawat jalan
Pengawasan penderita rawat jalan harus mengikut sertakan dokter keluarga penderita untuk memastikan pengawasan yang lebih baik. Konsultasi ke Gastroenterologis dianjurkan pada penderita dengan keluhan :
- Konstipasi yang relatif baru.
- Konstipasi kronik dengan penurunan berat badan, anemia, atau perubahan konsistensi tinja.
- Konstipasi yang refrakter.
- Konstipasi yang membutuhkan pemakaian laksans yang terus menerus.
Obat-obat yang dianjurkan
- Bulk-forming agent: Psyllium (eg, Metamucil) dapat meningkatkan frekuensi defekasi dan melunakkan konsistensi tinja.
- Emollient: Docusate sodium (eg, Colace) memperbaiki gerakan usus.
- Klisma dengan air hangat : dapat mempercepat perbaikan keluhan penderita dan dapat mengatur gerakan usus selanjutnya.
Pencegahan
- Minum yang cukup (misalnya, 8 gelas air sehari)
- Olah raga teratur.
- Diet tinggi serat
- Hindari atau kurangi obat-obat yang menimbulkan konstipasi
- Defekasi yang teratur, usahakan pada jam yang sama setiap harinya, dapat mengurangi keluhan, terutama setelah makan di mana refleks “gastrocolic” menunjukkan kerja paling kuat.
Komplikasi
- Fisura ani
- “Fecal impaction”
- Obstruksi usus
- “Fecal incontinence”
- Ulserasi stercoral
- Megakolon
- Volvulus
- Prolaps rektum
- Retensi urin
- “Syncope”
Prognosis
- Sebagian besar penderita yang aktif, menunjukkan respons yang baik dengan pemberian obat.
- Pada penderita yang harus tirah baring lama, konstipasi akan menjadi masalah.
KESIMPULAN
Konstipasi bukan merupakan suatu penyakit, melainkan suatu keluhan yang muncul akibat kelainan fungsi dari kolon dan anorektal. Konstipasi atau sembelit adalah terhambatnya defekasi dari kebiasaan normal. Pengertian ini dapat diartikan sebagai defekasi yang jarang, jumlah feses yang kurang, konsistensinya keras dan kering. Obstipasi bersinonim dengan konstipasi.
Kriteria baku untuk menentukan ada tidaknya konstipasi telah ditetapkan, meliputi minimal 2 keluhan dari beberapa keluhan berikut yang diderita penderita minimal 25 % selama minimal 3 bulan : (1) tinja yang keras, (2) mengejan pada saat defekasi, (3) perasaan kurang puas setelah defekasi, dan (4) defekasi hanya 2 x atau kurang dalam seminggu.
Diagnosis dibuat berdasar pada adanya keluhan paling sedikit 2 dari beberapa keluhan berikut, minimal dalam waktu 1 tahun tanpa pemakaian laksans (kriteria Roma II), yaitu (Whitehead 1999) : (1) defekasi kurang dari 3x/minggu, (2) mengejan berlebihan minimal 25 % selama defekasi, (3) perasaan tidak puas berdefekasi minimal 25 % selama defekasi, (4) tinja yang keras minmal 25 %, (5) perasaan defekasi yang terhalang, dan (6) penggunaan jari untuk usaha evakuasi tinja.
Penyebab konstipasi biasanya multifaktor, misalnya : Konstipasi sekunder (diit, kelainan anatomi, kelainan endokrin dan metabolik, kelainan syaraf, penyakit jaringan ikat, obat, dan gangguan psikologi), konstipasi fungsional (konstipasi biasa, “Irritabel bowel syndrome”, konstipasi dengan dilatasi kolon, konstipasi tanpa dilatasi kolon , obstruksi intestinal kronik, “rectal outlet obstruction”, daerah pelvis yang lemah, dan “ineffective straining”), dan lain-lain (diabetes melitus, hiperparatiroid, hipotiroid, keracunan timah, neuropati, Parkinson, dan skleroderma).
Perawatan konstipasi untuk tiap penderita tidak selalu sama, dan harus dicari penyebabnya. Pada prinsipnya untuk merawat penderita konstipasi ialah :
- Harus dicari sebab-sebabnya.
- Memberi pendidikan atau pengertian kepada penderita, agar dapat melakukan defekasi secara alamiah.
- Menghentikan kebiasaan pemakaian laksatif dan enema.
- Mengembalikan dan membiasakan agar dapat defekasi sendiri tanpa obat-obatan
Pengobatan konstipasi dapat dilakukan dengan perubahan pola hidup, pemberian obat-obatan dan operatif, tergantung dari penyebabnya. Setelah dilakukan pengobatan seyogyanya dilakukan pemantauan terhadap penderita. Pengobatan pada sebagian besar penderita yang aktif, menunjukkan respons yang baik.
Comments
Post a Comment
Terima kasih atas komentar yang diberikan.. Akan disampaikan dan ditanggapi segera..