Insidensi
Insidensi penyakit Hodgkin (morbus Hodgkin; MH) kira-kira 3 per 100.000 penderita per tahun. Pada pria insidensinya sedikit lebih tinggi daripada wanita. Perbandingan pria dan wanita adalah 3 : 2. Pada morbus Hodgkin distribusi menurut umur berbentuk bimodal yaitu terdapat dua puncak dalam distribusi frekuensi. Puncak pertama terjadi pada orang dewasa muda antara umur 18 – 35 tahun dan puncak kedua terjadi pada orang diatas umur 50 tahun. Selama dekade terakhir terdapat kenaikan berangsur-angsur kejadian morbus Hodgkin, terutama bentuk nodular sklerotik pada golongan umur lebih muda.
Etiologi
Patogenesis morbus Hodgkin mungkin kompleks dan masih banyak hal yang kurang jelas dalam bidang ini (Jarret, 1992). Epidemiologi morbus Hodgkin menunjukkan kemungkinan adanya peran infeksi virus yang berlangsung (abnormal) pada umur anak. Misalnya, negara non industri, dimana terjadi pemaparan terhadap virus yang umum terdapat pada umur lebih muda, puncak insidensi pertama morbus Hodgkin juga terjadi jauh lebih dini (antara 5 dan 15 tahun) daripada di negara-negara Barat. Dalam hal pemaparan terhadap virus umum terjadi belakangan, (misalnya pada keluarga kecil, status ekonomi social yang lebih tinggi) insidensi morbus Hodgkin relatif lebih tinggi. Ini dapat menunjukkan bahwa mengalami infeksi virus tertentu mempunyai efek predisposisi, yang terutama berlaku kalau infeksinya timbul pada usia lebih belakangan. Ada petunjuk bahwa virus Epstein-Barr (EBV) mungkin memegang peran pada patogenesis morbus Hodgkin. Dengan menggunakan teknik biologi molecular pada persentase yang cukup tinggi kasus morbus Hodgkin (kecuali bentuk kaya limfosit) dapat ditunjukkan adanya DNA EBV dalam sel Reed-Sternberg. Juga dapat ditunjukkan produksi protein EBV tertentu. Tetapi, apakah ada hubungan kausal langsung antara infeksi EBV dan terjadinya morbus Hodgkin, ataukah ada kausa bersama untuk kedua fenomena tanpa hubungan kausa langsung (misalnya imunodefisiensi relatif) masih belum jelas.
Klasifikasi
Diagnosis morbus Hodgkin berdasarkan pemeriksaan histologik, yang dalam hal ini adanya sel Reed-Sternberg (kadang-kadang sel Hodgkin varian mononuklear) dengan gambaran dasar yang cocok merupakan hal yang menentukan sistem klasifikasi histologik, sebagaimana lebih dari 25 tahun yang lalu telah dikembangkan oleh Lukes dan Butler, masih selalu berlaku sebagai dasar pembagian penyakit Hodgkin.
Dibedakan empat bentuk utama. Bentuk nodular sklerotik (HB-NS) terciri oleh adanya varian sel Hodgkin, sel lakunar, dalam latar belakang limfosit, granulosit, sel eosinofil, dan histiositik. Sel Reed-Sternberg tidak sangat sering. Kelenjar limfe sering mempunyai susunan nodular, dengan di dalamnya terlihat pita-pita jaringan ikat yang sedikit atau kurang luas yang sklerotik.
Pada bentuk sel campuran (HD-MC) latar belakang juga terdiri dari granulosit, eosinofil, sel plasma, dan histiosit, tetapi disini banyak terlihat sel Reed-Sternberg.
Diagnosis bentuk miskin limfosit (HD-LD) di negara industri sudah jarang dibuat. Gambaran ini ternyata sering berdasar atas (sub) tipe morbus Hodgkin atau limfoma non-Hodgkin. Bentuk kaya limfosit (HD-LP) terciri oleh varian sel Hodgkin yang lain, sel L dan H dengan latar belakang limfosit kecil dan histiosit reaktif.
Tabel 1. Klasifikasi histopatologik morbus Hodgkin
(Klasifikasi Lukes-Butler dan Rye, 1966)
Tipe utama
|
Sub-tipe
|
Frekuensi
|
Bentuk lymphocyte predominance (LP)
|
Nodular
Difus
|
}5%
|
Bentuk nodular sclerosis (NS)
|
70-80%
|
|
Bentuk Mixed Cellulating (MC)
|
10-20%
|
|
Bentuk Lymphocyte Depletion (LD)
|
Reticular
Fibrosis difus
|
}1%
|
Gambar 1. Bentuk histopatologik limfoma hodgkin
Mengenai sifat sel Reed-Sternberg masih banyak hal yang belum jelas. Dianggap dapat merupakan sel T atau sel B yang teraktivasi, yang sedikit banyak dikuatkan oleh data biologi molecular; hanya pada bentuk kaya limfosit karakter sel B jelas.
Manifestasi klinis
Penyakit ini pada 70% kasus menampakkan diri pada pembesaran kelenjar limfe, biasanya di leher. Kelenjar ini sering asimtomatik. Jika terjadi di bawah m. sternocleidomastoideus dapat terjadi pembengkakan difus yang besar di sisi leher yang bersangkutan. Mediastinum sering terlibat dalam proses dan keluhan-keluhan dapat timbul dari kelainan di tempat tersebut. Penderita muda umumnya menunjukkan kelenjar limfe yang keras, teraba seperti karet dan membesar, di daerah leher bawah atau daerah supraklavikula, atau disertai batuk kering non produktif sekunder akibat limfadenopati halus.
Gambar 2. Mekanisme pembesaran kelenjar limfe
Keringat malam, turunnya berat badan sekitar 10% atau febris (gejala B) pada 20-30% kasus merupakan presentasi pertama, terutama pada proses yang lebih luas. Pada 15% kasus disebutkan adanya nyeri pada penggunaan alkohol.
Gejala-gejala pembengkakan kelenjar limfe dengan kadang-kadang febris, dapat juga terjadi pada infeksi umum seperti toksoplasmosis, mononukleosis infeksiosa atau infeksi virus lain yang terdapat pada umur itu, atau pada infeksi regional. Pada pembengkakan kelenjar yang persisten, jika tidak dijumpai inflamasi regional, harus cepat diadakan biopsi untuk penentuan diagnosis. Pungsi sitologik dapat dikerjakan dulu untuk orientasi. Biopsi jaringan diperlukan untuk penentuan klasifikasi yang tepat. Jika ada dugaan ke arah limfoma maligna pada biopsi harus disisihkan material untuk pemeriksaan imunologik dan kalau perlu pemeriksaan DNA untuk penetapan monoklonalitas dan untuk menentukan imunofenotipe.
Gambar 8. Pembesaran kelenjar limfe
Diagnosis
Pemeriksaan untuk penentuan stadium meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium. Pada pemeriksaan fisik diperhatikan kelenjar regional, hepar dan lien. Diagnosis morbus Hodgkin berdasarkan pemeriksaan histologik. Sel Reed Stenberg yang merupakan bentuk histiosit (makrofag jaringan) ganas adalah temuan khas pada limfoma Hodgkin. Pemeriksaan rontgen terdiri atas foto toraks dan CT-scan toraks untuk mencari kalau ada perluasan mediastinal atau pleural. Untuk pemeriksaan perut ada dua kemungkinan, CT-scan atau limfangiografi. Sebaiknya dimulai dengan CT-scan. Jika ini negatif, diperlukan limfangiografi, karena kadang-kadang terdapat kelenjar yang mempunyai struktur abnormal tetapi tidak jelas membesar, sehingga mungkin tidak terlihat pada CT-scan. Keuntungan limfangiografi di samping itu adalah bahwa kontrasnya masih tampak 1-2 tahun, sehingga perjalanan penyakit dapat diikuti dengan foto polos abdomen biasa.
Pengeboran tulang pada umumnya juga harus dikerjakan, dan jelas jika ada simptom B. Tetapi, dalam hal misalnya stadium I tanpa keluhan arti diagnostiknya hanya sedikit dan pemeriksaan itu tidak perlu dikerjakan.
Pemeriksaan isotop dengan gallium radioaktif dapat memberi gambaran mengenai sarang-sarang di tempat lain dalam tubuh yang tidak dapat ditetapkan dengan pemeriksaan rutin penentuan stadium biasa. Keterandalan pemeriksaan ini masih diteliti. Jika kelenjar limfe juga meresorbsi gallium, pemeriksaan ini dapat juga digunakan pada akhir terapi untuk mengetahui apakah ada massa sisa, misalnya di dalam mediastinum, yang masih mengandung tumor yang aktif. Ini mempunyai arti prognostik (McLauhhlin, dkk., 1990).
Laparotomi untuk penetapan stadium dengan splenektomi dalam periode 1970-1980 sering digunakan untuk kelengkapan pemeriksaan stadium. Ternyata bahwa pada 20-30% kasus terdapat sarang-sarang occult di limpa dan kelenjar limfe. Digunakan terminology stadium klinik (sebelum laparotomi) dan stadium patologik (sesudah laparotomi diikuti splenektomi). Kira-kira 20-30% penderita dalam stadium klinik I atau II ternyata sebenarnya berada dalam stadium III. Sebaliknya 10% penderita dalam stadium III ternyata sebenarnya berada dalam stadium I atau II.
Laparotomi untuk menetapkan stadium juga menunjukkan keberatan, seperti morbiditas operasi, mortalitas (1%) dan kenaikan kemungkinan infeksi, terutama sepsis pneumokokus. Juga dinyatakan bahwa kemungkinan untuk leukemia sekunder menjadi lebih besar sesudah splenektomi.
Laparotomi dengan splenektomi sebagai penetapan stadium pada waktu ini sebenarnya sudah tidak dikerjakan lagi. Jika seorang penderita harus menjalani splenektomi diperlukan vaksinasi pneumokokus.
Tabel 2. Penetapan diagnosis limfoma Hodgkin
Anamnesis
|
Gejala-gejala B
Anamnesis keluarga
Mononukleosis infeksiosa sebelumnya
|
Pemeriksaan
|
Kelenjar-kelenjar : lokalisasi & besarnya
Pembesaran hepar, limpa
Pemeriksaan THT pada kelenjar leher
|
Pemeriksaan laboratorium
|
LED, Hb, leukosit, trombosit
Faal hati dan ginjal
SLDH
|
Pemeriksaan rontgen
|
X-thorax
CT-scan toraks-abdomen
Limfangiogram
|
Pemeriksaan sumsum tulang
|
Biopsi tulang Yamshidi
|
Dipertimbangkan/jika
indikasi scan ada
|
Gallium
Scan tulang
Biopsi hepar
|
Stadium
Untuk pembagian stadium masih selalu digunakan klasifikasi Ann Arbor. Dalam suatu pertemuan kemudian diadakan beberapa perubahan (Lister, dkk., 1989).
Atas dasar penetapan stadium klinis pada penyakit Hodgkin pada 60% penderita penyakitnya terbatas pada stadium I atau II. Pada 30% penderita terdapat perluasan sampai stadium III dan pada 10-15% terdapat pada stadium IV. Ini berbeda dengan limfoma non-Hodgkin, yang biasanya terdapat pada stadium III-IV.
Gambar 4. Stadium morbus Hodgkin berdasarkan klasifikasi Ann Arbor
Tabel 3. Pembagian stadium morbus Hodgkin
Stadium I
|
Penyakit mengenai satu kelenjar limfe regional yang
terletak diatas atau dibawah diafragma (I) atau satu regio ekstralimfatik
atau organ (IE)
|
Stadium II
|
Penyakit mengenai dua atau lebih daerah kelenjar di
satu sisi diafragma (II) atau kelainan ekstralimfatik atau organ
terlokalisasi dengan satu atau lebih daerah kelenjar di sisi yang sama
diafragma (IIE)
|
Stadium
III
|
Penyakit mengenai daerah kelenjar di kedua sisi
diafragma (III), dengan atau tanpa kelainan ekstralimfatik atau organ (IIIE),
lokalisasi limpa (IIIE) atau kedua-duanya (IIIE).
|
Stadium IV
|
Penyakit telah menjadi difus / menyebar mengenai
satu atau lebih organ atau jaringan ekstralimfatik, seperti sumsum tulang
atau hati dengan atau tanpa kelainan kelenjar limfe.
|
Terapi
Tiap penderita dengan penyakit Hodgkin harus diterapi dengan tujuan kuratif. Ini juga berlaku untuk penderita dalam stadium III dan IV dan juga untuk penderita dengan residif sesudah terapi pertama.
Ini berarti bahwa terapi harus cepat dimulai dan bahwa ini tidak boleh dihentikan atau dikurangi tanpa alasan yang berat. Sebelum mulai terapi harus ada pembicaraan antara radioterapis dan internis untuk menentukan program terapi.
Tabel 4. Pilihan terapi pertama pada morbus Hodgkin
Terapi
pertama
|
|
Stadium I–II
|
- Terapi standar: radiasi lapangan
mantel dan radiasi kelenjar paraaorta dan limpa; kadang-kadang hanya lapangan
mantel saja
- Jika ada faktor resiko, kemoterapi
dilanjutkan dengan radioterapi
- Dalam penelitian, kemoterapi
terbatas dengan “involved field radiation”
|
Stadium
IIIA
|
Kemoterapi ditambah dengan radioterapi
|
Stadium
IIIB – IV
|
Kemoterapi, ditambah dengan radioterapi
|
Stadium klinik I dan II
Terapi standar dalam stadium I dan II adalah radioterapi. Untuk lokalisasi di atas diafragma ini terdiri atas radiasi lapangan mantel, diikuti dengan radiasi daerah paraaortal dan limpa, yang terakhir ini karena kemungkinan 20-30% dalam daerah ini, seperti ternyata dari hasil laparotomi penetapan stadium.
Jika lokasi kelainannya di bawah diafragma, dalam stadium I atau II diberikan penyinaran Y terbalik, dengan menyinari kelenjar limfe paraaortal, limpa, kelenjar iliakal dan kelenjar inguinal. Pada radiasi ini ovarium terdapat dalam lapangan penyinaran. Karena itu dipertimbangkan pada wanita muda untuk menempatkan ovarium di luar lapangan penyinaran. Jika kelainan di perut sangat voluminous, maka dipilih kemoterapi dalam kombinasi dengan radioterapi.
Gambar 5. Jenis-jenis radioterapi
Stadium IIIA
Jika dalam stadium III perluasannya hanya terbatas, radiasi memang mungkin, misalnya dalam situasi klinis stadium klinik II pada laparotomi terdapat perluasan terbatas di limpa atau perut atas. Penyinaran harus terdiri dari radiasi lapangan mantel dan radiasi Y terbalik (radiasi “total node”). Pada stadium klinik III lebih dipilih penanganan dengan kemoterapi. Penderita ini diterapi sebagai pasien dalam stadium IIIB – IV.
Stadium IIIB – IV
Penderita dalam stadium ini diterapi dengan kemoterapi (Longo, 1990). Skema MOPP yang telah lama sebagai pilihan pertama tampaknya digeser oleh skema MOPP/ABV. Dalam hal ini pada hari ke-1 dan ke-8 dapat diberikan berbagai obat. Dari penelitian ternyata bahwa dengan pilihan ini kemungkinan penyembuhan lebih besar daripada dengan MOPP saja. Persentase remisi komplit adalah 80%, dengan 60% kemungkinan penyembuhan.
Pada penderita yang lebih tua juga digunakan skema ChlVPP, yang pada umumnya lebih baik ditoleransi. Mengenai efek samping kemoterapi disamping efek akut yang terjadi (misalnya nausea, vomitus, depresi sumsum tulang, dan kerontokan rambut), juga harus diperhatikan efek samping yang timbul kemudian. Pada terapi MOPP pada laki-laki terjadi sterilitas yang menetap dalam persentase yang tinggi. Sebaiknya sebelum mulai terapi harus dibicarakan dengan penderita resiko infertilitas dan kemungkinan pembekuan spermanya. Meskipun pada terapi MOPP/ABV resikonya lebih kecil, disini juga harus dilakukan pembekuan sperma. Pada wanita harus diperhatikan kemungkinan amenorrhea jika mereka lebih tua daripada 25-30 tahun. Pada wanita lebih muda kemungkinan cukup besar bahwa siklus dan fertilitasnya tetap utuh.
Tampaknya lebih mungkin bahwa pada laki-laki maupun wanita fertilitas lebih dapat dipertahankan pada terapi ABVD.
Selanjutnya ada resiko terjadinya tumor kedua seperti leukemia sekunder dan limfoma non-Hodgkin (Van Leeuwen, 1994). Kemoterapi memegang peran dalam hal ini. Terapi MOPP terkenal tidak baik dalam hal terjadinya leukemia sekunder. Kemungkinannya adalah 5% sesudah 10 tahun. Nitrogen mustard, suatu zat pengalkil tampaknya merupakan penyebab terbesar. Ini juga menjadi alasan bahwa akhir-akhir ini lebih disukai skema-skema dengan mengurangi obat pengalkil atau sama sekali tidak, seperti MOPP/ABV atau ABVD.
Dosis
(mg/m2)
|
Hari ke-
|
1
5
8 15
|
||
MOPP
|
||||
Nitrogen mustard
Vinkristin
Procarbazine
Prednisone
|
6
1,4
100
25
|
i.v.
i.v.
p.o.
p.o.
|
+
+
+
+
---------------------------
---------------------------
|
|
ChlVPP
|
||||
Chlorambusil
Vinblastin
Procarbazine
Prednisone
|
6
6
100
25
|
p.o.
i.v.
p.o.
p.o.
|
---------------------------
+
+
---------------------------
---------------------------
|
|
ABVD
|
||||
Adriamisin
Bleomisin
Vinblastin
DTIC
|
25
10
6
250
|
i.v.
i.v.
i.v.
i.v.
|
+
+
+
+
+
+
+
+
|
|
MOPP/ABV
|
||||
Nitrogen mustard
Vinkristin
Procarbazine
Prednisone
Adriamisin
Vinblastin
Bleomisin
|
6
1,4
100
40
35
6
10
|
i.v.
i.v.
p.o.
p.o.
i.v.
i.v.
i.v.
|
+
+
------------------
---------------------------
+
+
+
|
|
CEP
|
||||
CCNU
Etoposid
prednimustin
|
80
100
80
|
p.o.
p.o.
p.o.
|
+
---------
---------
|
--- diminum tiap hari berkelanjutan
Comments
Post a Comment
Terima kasih atas komentar yang diberikan.. Akan disampaikan dan ditanggapi segera..